Tampaknya ini adalah perjalanan menuju Cape Town yang cukup menyenangkan. Mobil meluncur di tepi tebing dengan mulus tanpa hambatan sementara di bawah sana lautan membentang sejauh mata memandang dengan horizon yang terlihat berkabut.
Sinar matahari yang sesekali menembus kaca mobil pun tampak menyilaukan mata saat Stephen mulai bercerita tentang asal-usul julukannya. Lelaki itu tampaknya amat bangga dipanggil “Sugar”, sebuah nama yang didapatnya sewaktu bergabung dengan militer dulu.
Julukan itu sebenarnya diambil dari judul lagu dalam album Cold Fact milik seorang penyanyi bernama Rodriguez, yaitu Sugar Man. Sebagai penyanyi, Rodriguez adalah sosok misterius sampai suatu hari terdengar rumor bahwa ia telah tewas karena bunuh diri.
“Dia membakar dirinya sendiri di atas panggung, di depan penonton,” terang sang narator pada menit 01:44 dalam film dokumenter berjudul Searching for Sugar Man yang menjadi basis dari tulisan ini.
Aksi Rodriguez dinilai sebagai tindakan bunuh diri paling aneh dalam sejarah musik rock. Namun, rumor tersebut telah membawa kita ke Detroit, sebuah kota di negara bagian Amerika Serikat bernama Michigan.
Di sana Rodriguez biasa tampil di sebuah bar kecil dekat dermaga bernama The Sewer. Malam itu, Mike Theodore mengajak Dennis Coffey membelah kabut hanya untuk menonton penampilannya.
“Kau keluar dari kabut dan masuk ke tempat yang penuh dengan asap,” kesan Dennis Coffey saat pertama kali bertemu dengan Rodriguez. Suasana di dalam bar pun tampak amat kacau: kaleng bir dan kulit kacang menjadi pemandangan yang dominan.
Di antara kekacauan itu, di sudut ruangan seorang lelaki dengan gitarnya tengah bernyanyi sambil memunggungi para pengunjung. Setelah malam itu, Mike Theodore dan Dennis Coffey menjadi co-producer untuk album debut Rodriguez berjudul Cold Fact yang dirilis pada 1970.
Rodriguez adalah sosok necis berambut hitam panjang yang ujungnya jatuh hingga ke bahu, suka mengenakan kacamata “square”, punya lesung pipit, dan amat layak mendapatkan semua hal yang bisa dimiliki oleh seorang superstar. Nyatanya, ia tidak mendapatkan semua itu.

Produser Coming from Reality (1971) yang merupakan album kedua Rodriguez, Steve Rowland bercerita bahwa tidak ada yang tertarik dengan lagu-lagu ciptaan penyanyi itu. Ini cukup mengherankan.
Steve Rowland baru saja memutar lagu berjudul Cause, satu nomor yang direkam untuk album kedua Rodriguez. Lagu tersebut adalah lagu terakhir yang direkam sebelum Rodriguez menghilang ditelan kabut Detroit.
Bait pertama lirik lagu tersebut berbunyi, “I lost my job two weeks before Christmas“. Merupakan ironi dari sebuah lirik lagu yang pada akhirnya dirasakan sendiri oleh sang penyanyi karena dua pekan sebelum Natal pihak Sussex Records memecatnya.
“Oh, aku terus memikirkannya,” ujar Steve Rowland sambil memijit dahinya sendiri.
Namun, saat Rodriguez dianggap mati, di belahan dunia yang lain, lagu-lagu dari album Cold Fact jadi “pandemik” yang tidak terelakkan. Album tersebut menjadi sangat kesohor di daratan Afrika Selatan.
Lagu-lagu milik Rodriguez datang ketika apartheid berkuasa dan telah menjadikannya ikon pemberontakan populer bagi gerakan antirasis di negara itu. Salah satu nomor yang dianggap paling representatif adalah Anti-Establishment Blues.
Waktu itu mudah sekali menemukan piringan hitam Cold Fact bersisian dengan Abbey Road-nya The Beatles atau Bridge Over Troubled Water-nya Simon and Garfunkel. Cold Fact muncul dengan sampul nyentrik: seorang hippie miskin dengan singlet merah dan celana striped yang sedang duduk bersila dan seakan terlihat melayang dalam bola bening.
Jurnalis musik Craig Bartholomew-Strydom mengatakan bahwa lirik-lirik dari album Cold Fact telah membebaskan penduduk Afrika Selatan dari kekangan. Dalam gerakan melawan apartheid di negeri itu, Rodriguez ada di sana dalam bentuk yang lain.
Sekalipun di Afrika Selatan nama Rodriguez menjelma bak batara, di negeri seperti Amerika Serikat tidak ada yang tahu apa itu Cold Fact. Hal ini semakin memantik tanda tanya serta ambisi untuk mengungkap siapa sosok Rodriguez sebenarnya.
Namun, upaya meneroka jalan untuk menemukannya lagi-lagi harus berhadapan dengan rumor seputar kasus kematian yang juga tidak pernah bisa diverifikasi. Yaitu, bunuh diri dengan pelbagai versi.
Sebuah perusahaan rekaman di Afrika Selatan pada 1996 merilis ulang album kedua Rodriguez, Coming from Reality dalam bentuk CD untuk pertama kalinya. Buklet yang tertulis pada album tersebutlah yang membuat jurnalis musik Craig Bartholomew-Strydom merasa tertantang untuk menelusuri jejak sang penyanyi misterius.
“Tidak ada fakta konkret tentang Rodriguez. Adakah Detektif musik di luar sana?”
Untuk menerabas ilalang panjang yang menghalangi jalan menuju Rodriguez, Craig Bartholomew-Strydom mulai membuat diagram, mencari tahu ke mana dana dari tiga perusahaan rekaman (A&M Records/1971/LP, Teal Trutone/1991/CD, dan PT Music/2002/CD) yang selama ini merilis album Rodriguez di Afrika Selatan telah berlabuh. Tentu saja petunjuk terakhir jatuh kepada Sussex Records.
Perusahaan rekaman yang berdiri pada 1969 dan gulung tikar pada 1975 itu beralamat di Hollywood, Los Angeles. Pemiliknya adalah Clarence Avant, salah satu nama paling prestisius dalam industri permusikan di Amerika Serikat yang pernah terlibat kerja sama dengan sejumlah nama besar seperti Michael Jackson dan Miles Davis.
Clarence Avant yang awalnya berbicara soal album Rodriguez yang tidak laku terjual mulai menunjukkan sikap tak bersahabat saat dibenturkan dengan fakta bahwa album Rodriguez ternyata ludes hingga jutaan kopi di Afrika Selatan. Laki-laki itu seakan sedang bersikeras bahwa uang hasil penjualan dari tiga perusahaan rekaman tidak pernah sampai kepadanya dalam bentuk royalti selaku label.
Craig Bartholomew-Strydom masih terus menelusuri jejak remah roti yang ditinggalkan oleh Rodriguez bahkan melalui lirik-lirik lagunya hingga pada suatu hari di bulan Agustus 1997 ia mengontak Mike Theodore, co-producer album Cold Fact Rodriguez dan mendapatkan kabar bahwa ternyata Rodriguez masih hidup!
Sebuah artikel yang pernah diunggah oleh Craig Bartholomew-Strydom ke internet berjudul, In Search of Rodriguez: From Hooker Bars to Opera House dengan ajaib telah menyeberangi Atlantik dan sampai ke Eva Rodriguez, anak perempuan dari orang yang selama ini paling dicari keberadaannya.
Saat lagu-lagunya menginspirasi banyak orang dan jadi katalisator di Afrika Selatan, ternyata Rodriguez hidup secara sederhana di Detroit, jadi buruh dan bertahan bersama kelas pekerja lainnya. Ia mengerjakan banyak hal, termasuk jenis pekerjaan yang tidak mau diambil oleh kebanyakan orang, sering pulang dengan debu, kotoran, serta bekas cat.
“Dia seperti sakramen, kau tahu? Dia datang ke tempat kumuh ini, pekerjaan kasar 8-10 jam, oke?” ujar seorang kolega Rodriguez yang juga pekerja konstruksi bernama Rick Emmerson.
Rodriguez pergi ke tempat kerja dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang, yaitu dengan setelan tuksedo. Ia memiliki kualitas seorang penyair dan seniman, kata Rick Emmerson.
Lelaki ini mengambil filosofi di perguruan tinggi dan mengajarkan banyak hal kepada ketiga anak perempuannya dengan cara mengajak mereka ke perpustakaan, museum atau pusat sains. Ia bahkan memperkenalkan Picasso dan Delacroix kepada mereka.
Satu hal lagi yang jarang diketahui ialah Rodriguez termasuk orang yang sering terlibat aksi menyuarakan hak kelas pekerja. Suatu hari di awal tahun 80-an, ia mengutarakan keinginannya untuk ikut serta dalam kontestasi politik pemilihan wali kota Detroit, sebuah jalan yang mesti ditempuh jika ingin memperbaiki nasib kelas pekerja.
Ia amat ingin membuat perubahan, sayangnya, dari 169 orang yang ikut serta dalam pemilihan di Dewan Kota, hanya 9 kandidat yang terpilih untuk bertarung ke arena selanjutnya, dan namanya tidak pernah ada di sana. Mereka bahkan salah dalam menuliskan ejaan nama Rodriguez di atas kertas suara, suatu hal yang mungkin disengaja untuk menyabotase hak politik seorang berdarah Meksiko-Amerika.
Sewaktu ditemui pertama kali untuk proyek film dokumenternya, Rodriguez tidak muda lagi, wajahnya mulai digerogoti oleh gegaris keriput. Majalah RollingStone mengungkap bahwa dia menderita glaukoma, yang secara secara dramatis telah membatasi penglihatannya.
Penyakit tersebut menyebabkan Rodriguez bergerak sangat lambat saat berjalan, dan terkadang mesti dituntun oleh orang lain. Itu bisa dilihat dalam beberapa scene yang menunjukkan ketika Rodriguez berjalan membelah salju dengan mantel dan topi, diiringi lagu Street Boy sebelum menghilang di balik senja.
Saat menandatangani kontrak dengan Sussex Records, Rodriguez bekerja sebagai buruh di beberapa tempat, di antaranya Dodge Maine dan Eldon and Lynch Road. Dan pada akhirnya, ia telah berusaha keras untuk Cold Fact dan Coming from Reality meskipun tidak pernah mengambil banyak dari keduanya.
Ketika Rodriguez diberitahu bahwa di suatu tempat namanya lebih populer dari Elvis Presley, Rodriguez berhenti sejenak, dan sejak saat itu nasibnya berubah. Rodriguez harus pergi ke sana, ya, ke Afrika Selatan.
Sewaktu turun dari pesawat pada Maret 1998, Rodriguez dan anak-anaknya berusaha menyingkir agar tidak mengganggu laju dua limosin yang sedang membawa orang penting di dalamnya. Mereka tidak tahu bahwa kedua limosin tersebut datang untuk mereka, dan dari sanalah semuanya akan dimulai.
Di dalam Bellville Velodrome pada 6 Maret 1998, berkali-kali nama “Rodriguez” diteriakkan ke udara disertai riuh tepuk tangan dan rasa tidak sabar ribuan penonton sampai akhirnya suasana gelap gulita dan sorotan lampu hanya tertuju pada seorang lelaki yang sedang berdiri di sana. Saat itu, orang-orang hanya ingin bertemu dengannya.

“Terima kasih untuk membuatku tetap hidup,” ucap sang bintang melalui mikrofon, lalu tempat itu pun kembali bergemuruh.
Film dokumenter Searching for Sugar Man yang disutradarai oleh Malik Bendjelloul ini kelak memenangkan piala Oscars 2013 untuk kategori Best Documentary Feature. Rodriguez sendiri sedang tertidur saat pengumuman juara berlangsung-keluarganya bahkan belum memiliki televisi untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Segera setelah ketenarannya meluas, Wayne State University, kampus di mana dia kuliah dulu ikutan menganugerahinya gelar kehormatan Doctor of Humane Letters. Yang jarang diketahui orang, Cold Fact menyentuh Australia hanya beberapa hari setelah perilisannya di Amerika Serikat, bahkan sempat menggelar konser di depan 15.000 penonton di Sydney.
“Toko rekaman mulai menjual Cold Fact seharga lebih dari 300 dolar, dan rekaman Blue Goose akhirnya merilisnya ke penjualan besar di seluruh benua,” tulis RollingStone tentang Rodriguez dan Australia.
Lantas apa yang sebenarnya membuat artis bernama panjang Sixto Diaz Rodriguez ini gagal mendarat pada awal-awal kemunculannya? Superlive mengungkap bahwa banyak yang menuding Sussex Records sebagai dalang utama karena label saat itu lebih fokus mempromotori dua nama besar sehingga nama Rodriguez tidak muncul dengan baik.
Jika bukan karena itu, kemunculan Rodriguez di tahun 70-an yang saat itu mengusung genre folk-soul/rock/psikedelik terlalu kecil cahayanya jika dibandingkan dengan para “kaisar” musik yang tengah naik daun. Artinya, Rodriguez muncul di zaman yang salah.
Terlepas dari itu, hari itu ketika Rodriguez pertama muncul di depan publik Afrika Selatan adalah salah satu momen paling mengharukan dalam sejarah musik rock. Di atas panggung itu, Rodriguez sama sekali tidak limbung bahkan sebaliknya terlihat amat tentram.
“Dia seperti sampai di tempat yang dia cari seumur hidupnya.”