Tiap kali berhenti di lampu merah, saya selalu dihantam bad mood. Bukan karena jalanan Banda Aceh yang kian padat atau tambah macet. Penyebabnya cuma satu, dan selalu itu itu saja. Apalagi kalau bukan pemandangan papan iklan anggota dewan yang cukup merusak mata dan bikin sakit hati. Kan tidak mungkin saya selalu harus menutup mata saat berpapasan dengan penampakan baliho mereka. Masak saya harus mengalah, memangnya mereka siapa. Saya selalu merasa senyum mereka adalah ejekan. Sebab meski tak banyak bekerja, tapi kita selaku warga selalu membiayai dan memfasilitasi hidup mereka dengan pajak yang saban tahun kian terasa mencekik.
Seandainya ketidakbahagiaan warga Banda Aceh dapat diukur, pasti salah satu penyebab ketidakbahagiaan itu disebabkan oleh papan reklame pejabat yang didesain jelek itu.
Rasanya mustahil mereka tak sanggup bayar tukang desain yang bagus. Atau bisa jadi ego sok pintarnya pejabat yang seringkali mengintervensi soal-soal teknis dalam pengerjaan desain membuat desain baliho mereka menjadi terlihat begitu terkutuk.
Saat peringatan hari-hari besar datang, coba perhatikan, bagaimana mereka memaksa diri menaruh teks ucapan secara panjang lebar. Bahkan mungkin butuh waktu 500 kali pemberhentian di lampu merah, baru kita dapat menyelesaikan membaca teks itu. Saya juga pernah melihat anggota DPRK yang bahkan meletakkan capture keseluruhan rilisnya yang dimuat dalam koran harian di papan iklan mereka. Oh mai god betapa what the fak-nya hidup kita warga Banda Aceh. Maksud saya, apa yang sesungguhnya ada dalam pikiran bapak dan ibu yang terhormat itu. Imajinasi macam apa yang bersarang dalam otak mereka. Apa mereka mengira semua orang dapat rebahan di tengah jalan sambil membaca teks iklan mereka. Oh Tuhan kembalikanlah mereka ke jalan yang benar.
Oh iya, ada satu lagi. Mungkin kebiasaan ini hanya dilakukan oleh politisi yang ada di Banda Aceh. Daerah lain saya tidak tahu, tapi kayaknya sama saja. Yaitu kebiasaan para politisi yang suka menasehati, mengutip hadits atau menyitir ayat al-Quran lewat papan iklan saat hari-hari besar Islam tiba. Bagian ini cukup parah. Misalnya saat jelang bulan ramadhan, dalam banyak reklame mereka meminta warga Banda Aceh agar memperbaiki diri, merubah kebiasaan jelek menjadi lebih baik. Woi kalianlah yang harus berbenah, bekerja seperti manusia saja tidak becus atau kalian saja yang berubah, jangan lagi jadi manusia, jadi apa gitu kek.
Yang jelas, jika tiba peringatan hari-hari Islam selalu kita yang disuruh berubah dan memperbaiki diri. Memangnya dosa apa yang sudah kita lakukan selaku warga sehingga tiap waktu disuruh berubah. Atau jangan-jangan setiap anggota dewan itu mengalami gejala mental menjadi maksum, yaitu perasaan menjadi orang suci yang tak tersentuh. Seolah hukum dan syariat yang ada di Banda Aceh itu hanya diperuntukkan untuk warga saja, sementara mereka sebagai wakil rakyat yang tidak jelas hasil kerjanya apa, bisa bebas dan menjadi pengecualian. Harusnya MPU mengeluarkan fatwa sesat kepada mereka karena sudah mengidap gejala maksum yang hanya boleh ada pada diri Nabi. Bukankah itu artinya secara tidak langsung mereka berupaya mendudukkan diri mereka sebagai Nabi.
Penulis: Atika Azura, Mahasiswi Semester Akhir dan Pemerhati Papan Reklame