Ketika menjabat Wakil Gubernur Aceh, Teuku Djohan pernah mengutarakan bahwa Islam mulai terasa melemah di perdesaan Aceh dalam periode 1980-an. Pernyataan itu ia sampaikan saat berpidato dalam pembukaan Rapat Kerja Dewan Masjid Indonesia Daerah Istimewa Aceh pada 4 April 1988 di Hotel Rasa Sayang Ayu (sekarang Hotel Rasamala). Dalam pidatonya, Teuku Djohan bilang:
“Suatu gejala yang sedikit mencemaskan pada masa-masa terakhir ini adalah melemahnya semangat penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ajaran agama dalam masyarakat, terutama di daerah perdesaan. Masjid-masjid di desa jauh lebih sepi dibandingkan dengan rumah-rumah ibadah yang ada di kota-kota yang penuh sesak dengan anak-anak muda yang beribadah. Kader-kader ulama di perdesaan sudah mulai langka, terlihat yang datang ke masjid hanya orang-orang tua yang mulai uzur” (DPKA, nomor arsip: 129/14).
Pernyataan Teuku Djohan itu memang patut diberi sedikit kritik, tetapi cukup penting diperhatikan oleh umat Islam di Aceh, khususnya para pendakwah serta kader dayah. Hal yang perlu dikritik ialah bahwa Teuku Djohan tidak memerhatikan konteks perberadaan karakter spasial antara kota dengan desa. Kedua ruang ini memiliki volume tak setara. Penduduk kota lebih banyak daripada penduduk desa. Alhasil, orang yang salat berjemaah di masjid-masjid kota tentu lebih banyak pula ketimbang masjid-masjid di desa. Urbanisasi memicu turunnya jumlah jemaah di desa dan di waktu yang sama mendorong naiknya angka jemaah di kota.
Sementara itu, Teuku Djohan ada benarnya soal melemahnya pengaruh Islam di desa-desa Aceh. Situasi tersebut bahkan tampak lebih kentara pada masa sekarang. Berbagai perilaku atau kebiasaan warga desa yang berselisih dengan syariat Islam semakin tampak jelas.
Selama ini, kita memandang desa adalah tempat Islam tumbuh terus hingga menjadi tradisi warganya. Islam kuat di perdesaan karena kiprah teungku, ulama, dan kader dayah yang ada di sana. Pendidikan Islam di desa mereproduksi pendakwah yang nantinya bergerak untuk menebarkan syiar Islam di kota-kota. Sebaliknya, kita memandang kota sebagai tempat yang tak seislami desa.
Di kota, syariat Islam dianggap banyak diabaikan. Kehidupan warga kota dianggap lebih berpedoman pada logika modernitas atau teknologi, bukan syariat Islam. Warga kota dinilai jauh dari ajaran Islam karena hobi mabuk-mabukan, suka prostitusi, gemar berjudi, berpakaian tak sesuai syariat, curang dalam berdagang, jahat dalam politik, kotor dalam menjalankan jabatan, dan macam-macam perilaku buruk lain.
Kader-kader dayah di desa lekas memalingkan pandangannya ke kota begitu mengetahui adanya fenomena tersebut. Lulusan dayah yang berkiprah sebagai pendakwah ramai-ramai “meninggalkan” desa dengan misi membuat Islam kuat di perkotaan. Mereka berdakwah untuk membenahi perilaku atau kebiasaan nonislami kaum perkotaan. Misi ini memang harus dilakukan.
Hanya saja, konsentrasi dakwah yang cenderung lebih besar dicurahkan ke kota menciptakan “kerapuhan” Islam di desa. Saat ini, nyatanya desa-desa di Aceh dilanda pula oleh kegandrungan atas sederet kenikmatan yang dihidangkan modernitas. Alhasil, terciptalah perilaku-perilaku warga perdesaan yang melemahkan pengaruh syariat Islam. Kita harus berani mengakui bahwa desa saat ini tak kalah kotor dibandingkan kota. Praktik-praktik melenceng yang dahulu subur di kota kini bertumbuhan pula di desa.
Jika dahulu perdagangan dan konsumsi sabu-sabu adalah praktik yang khas kota, kini hal itu marak di desa-desa. Anak-anak muda desa jadi pengedar sekaligus pengguna. Malahan, dakwah yang mengajak untuk memerangi narkoba ditekan oleh anak-anak muda yang terlibat sebagai bandar atau pengedar.
Dahulu, perjudian yang melibatkan teknologi terlokalisasi di perkotaan. Cuma sekelumit orang desa yang terhubung dengan judi berbasis teknologi. Namun, sekarang nyaris semua anak muda di perdesaan memanfaatkan teknologi untuk mengakses judi online. Bahkan, ada kepala desa dan tetua adat yang dilaporkan terlibat.
Tanda lain bahwa Islam di desa-desa di Aceh mulai diabaikan adalah fenomena korupsi. Korupsi yang dahulunya dilakukan orang-orang rakus di perkotaan dan dikutuk orang-orang melarat di perdesaan, kini dipraktikkan pula oleh orang-orang Islam di desa. Kepala desa menggelapkan anggaran desa. Beberapa warga yang loyal dengan si kepala desa membela tindakan koruptif tersebut.
Merosotnya pengaruh Islam di desa juga dapat dilihat dalam aktivitas olahraga warganya. Orang laki-laki di desa main sepak bola dengan celana pendek di atas lutut. Padahal, imam dan lulusan dayah di desa sudah menjelaskan bahwa lutut merupakan aurat laki-laki. Namun, syiar ini diabaikan sama sekali. Di Aceh, ada sejumlah lapangan sepak bola dan voli yang bertetangga dengan masjid atau pesantren. Namun, para pemudanya tak risih berolahraga tanpa mengindahkan kaidah berbusana menurut Islam. Seakan, olahraga boleh dikecualikan dari penerapan syariat Islam.
Dahulu, para pendakwah dari desa sibuk mengingatkan warga kota agar jangan lalai atau terlena dengan hiburan duniawi. Kelalaian itu membuat mereka mengabaikan salat lima waktu, membaca al-Quran, dan ibadah lainnya. Namun, sekarang problem kelalaian akibat hiburan itu berkembang luas pula di kalangan warga desa.
Krisis-krisis Islam di perdesaan itu hendaknya mendorong evaluasi pergerakan dakwah. Dengan adanya evaluasi, terbuka kesempatan untuk merumuskan perspektif dan strategi dakwah yang relevan dengan kondisi aktual.
Sudah saatnya dakwah memakai perspektif baru yang menempatkan kota dan desa sebagai tempat yang sama-sama bermasalah dan harus ditangani dengan dakwah yang setara. Perspektif inilah yang kemudian menjadi titik tolak agenda reaktualisasi atau penyegaran strategi dakwah.
Apabila dahulu dakwah untuk memerangi prostitusi hanya diteriakkan di kota, kini di desa juga harus dilakukan. Pasalnya, prostitusi online yang gencar akhir-akhir ini melibatkan para perempuan di desa pula, tanpa harus mereka menetap di kota. Apabila dahulu dakwah tentang hukum menato badan lebih sering diungkapkan di hadapan warga kota, kini perlu pula disampaikan sesering mungkin kepada anak-anak muda asli desa lantaran mereka mulai terpengaruh tren mengotori tubuh dengan tato.
Artinya, strategi baru dakwah adalah menjadikan kota dan desa sebagai basis pergerakan dakwah. Basis dakwah bukan lagi hanya di desa sementara yang menjadi sasaran dakwah adalah kota. Kini, kota juga menjadi basis dakwah dengan desa sebagai sasarannya. Kader-kader dayah di desa maupun kota saling mendorong visi teologis Islam lewat cara berdakwah yang sesuai kondisi aktual. Dengan strategi ini, Islam akan kuat di kota dan desa secara selaras. Islam unggul di desa juga kota.