Beberapa teman menulis status Facebook dengan narasi beragam tentang “larangan” zikir dan “anjuran” olahraga di kantor pemerintah di Aceh. Membaca status dan sejumlah komentar yang tampak “janggal” itu, saya pun mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Dengan hanya menggeser-geser beranda Facebook beberapa detik yang sekilas tampak seperti pustaka besar, akhirnya punca masalah segera ditemukan. Ternyata status dan komentar yang saling berbenturan itu muncul sebagai respons terhadap selembar surat berkop Sekretariat Daerah yang ditandatangani Sekretaris Daerah Aceh tertanggal 11 Januari 2023.
Pada perihal surat tertulis “Penghentian Kegiatan Zikir Pagi.” Dibaca dengan nada selembut apa pun, kalimat demikian tetap saja mengusik dan mengejutkan sebagian masyarakat Aceh yang kononnya begitu fanatik.
“Gangguan” selanjutnya terlihat pada isi surat poin pertama yang menganjurkan agar seluruh SKPA melaksanakan aktivitas olah raga pada pagi Jumat. Pada poin kedua surat ini kerumitan juga bertambah “parah” dengan adanya amaran penghentian zikir pada Jumat pagi. Dalam konteks ini intensitas keterusikan semakin luas – sebab tiba-tiba saja sisi religiusitas orang-orang kita seketika meledak.
Dalam kebimbangan yang sejenak itu muncul lagi surat penyesuaian jadwal zikir di lingkungan Pemerintah Aceh yang juga ditandatangani Sekretaris Daerah, bahwa zikir yang sebelumnya dilaksanakan pada Jumat pagi “dimutasikan” menuju hari Rabu pagi. Setelah membaca surat terbaru ini kuat dugaan komentator yang tadinya begitu militan akan sedikit melunak, atau sekurang-kurangnya berpura-pura gembira.
Di satu sisi kejadian ini mencoba memberi gambaran kepada kita semua bahwa sensitivitas masyarakat kita begitu tinggi, apalagi jika terkait dengan hal-hal yang berbau agama. Cuma saja kita kekurangan informasi terkait kualitas sensitivitas ini: Apakah muncul karena kesadaran religius atau hanya sekadar parade kesalehan – atau mungkin hanya sebagai strategi agar terlibat dalam diskursus topik-topik aktual sebagai wujud eksistensi diri.
Di sisi lain, munculnya surat “mutasi” zikir pagi dari Jumat ke Rabu juga seperti ingin memberi kesan bahwa Pemerintah Aceh begitu responsif dan akomodatif dengan kehidupan sosio-religi masyarakat Aceh. Namun sayangnya, aksi “mutasi” zikir ini justru memperlihatkan ketidakcermatan pemerintah dalam memahami alam pikir orang Aceh. Andai mereka cermat tentunya aktivitas zikir akan tetap dipertahankan pada hari Jumat sebab keduanya memiliki keselarasan, di mana zikir adalah aktivitas ibadah dan Jumat adalah hari yang utama. Dalam hal ini, menempatkan aktivitas olahraga di hari Jumat selain tidak tepat juga berpotensi bertentangan dengan alam pikir orang Aceh.
Namun terlepas dari perdebatan-perdebatan itu, Pemerintah Aceh seharusnya dapat melahirkan kebijakan yang lebih berdampak bagi masyarakat dan tidak larut dalam aktivitas-aktivitas simbolik yang tidak substantif karena tugas utama pemerintah dan aparatur adalah melayani. Karena itu hendaknya pemerintah menekankan agar aparatur fokus pada pelayanan publik, bukan pada hal-hal lain.
Kegiatan zikir itu memang penting sebagai wujud kedekatan hamba dengan Tuhannya, tapi aktivitas demikian biarlah menjadi tugas pribadi masing-masing hamba di mana pun dia berada. Lagi pula ibadah bukanlah festival yang perlu dipamerkan kepada publik. Seorang aparatur disebut religius bukan karena dia terlibat dalam “zikir simbolik” di kantor pemerintah, tapi sejauh mana dia mampu memberi pelayanan terbaik kepada publik. Dengan demikian publik akan terlayani dan zikir akan tetap murni sebagai ibadah yang terbebas dari tendensi apa pun.
Kemudian, olahraga juga penting sebagai medium membugarkan diri. Tapi apakah olah raga memiliki kaitan dengan pelayanan publik? Tentu tidak. Karena itu aktivitas olah raga baiknya dilakukan di Gedung Olahraga atau pun di rumah masing-masing, bukan di kantor-kantor pemerintah yang notabene disediakan untuk mengurus rakyat, bukan untuk parade senam pagi. Lagi pula aktivitas olah raga di kantor juga tidak akan memberi dampak apa pun pada peningkatan kinerja aparatur.
Saya pikir untuk ke depan pemerintah Aceh harus lebih berfokus menciptakan birokrasi syariah melalui aksi yang lebih konkret, bukan sekadar aksi-aksi simbolik semisal memakai koko dan peci atau berzikir beramai-ramai di depan kantor, tapi membersihkan birokrasi dari tindakan korupsi dan melayani publik dengan standar syariah.
Sekali lagi, tugas aparatur yang digaji oleh pemerintah, tepatnya rakyat, adalah fokus bekerja, bukan membuat komunitas zikir apalagi senam pagi. Intinya aparatur pemerintah harus mampu bekerja sekuat olahragawan dan melayani seikhlas ahli zikir.
Penulis: Khairil Miswar, Pengamat Sosial