Krisis ekonomi di Lebanon saat ini semakin “menggila”, bahkan warga terpaksa harus “merampok” uang mereka sendiri di bank. Ini terjadi karena bank-bank di negara tersebut membatasi penarikan uang tunai hanya US$ 400 atau sekitar Rp 6,12 juta (kurs Rp 15.300) setiap bulan.
Jumlah tersebut tidak cukup untuk sebagian orang yang memerlukan uang tambahan untuk membayar berbagai kebutuhan mereka, seperti pengobatan atau keperluan mendesak lainnya.
Kebijakan perbankan tersebut telah menyebabkan berbagai “perampokan” di sejumlah kantor bank. Sebagaimana dilansir The Guardian, dalam dua bulan terakhir saja, lebih dari selusin “perampokan” bank telah terjadi di seluruh negeri.
Beberapa di antaranya telah melibatkan senjata asli dan kekerasan. Ada juga yang datang dengan pistol mainan. Sali Hafez misalnya, “merampok” salah satu bank di Beirut dengan mendesak teller memberikan uang tabungannya senilai US$ 12.000. Dia putus asa karena memerlukan uang untuk pengobatan kanker adiknya.
Ada juga cerita seorang anggota parlemen Lebanon, Cynthia Zarazir, melakukan aksi duduk dengan pengacaranya di salah satu cabang bank sampai para pejabat setuju untuk menyerahkan US$ 8.500 dari rekeningnya, yang ingin dia gunakan untuk perawatan kanker saudara perempuannya.
Salah seorang nasabah yang frustrasi di sebuah bank Blom di distrik Hamra, Beirut mengatakan bahwa mereka tidak dapat memahami bagaimana nasabah lainnya tidak lebih marah. Dina Abou Zour, seorang pengacara dan pendiri kelompok yang dikenal sebagai Serikat Penyimpan, yang mengkampanyekan hak masyarakat untuk dapat mengakses tabungan mereka, mengatakan perlu ada solusi cepat atas masalah ini, tetapi menurutnya pemerintah terkesan bekerja dengan lamban.
“Lihat kekacauan ini,” kata salah seorang nasabah bernama, Rashid. “Kita harus menunggu di sini seperti pengemis yang menunggu untuk masuk hanya untuk mendapatkan uang,” ujarnya, dikutip Selasa (11/10/2022).
“Itulah yang membuat krisis Lebanon berbeda, sangat sulit untuk menyingkirkan orang dan mengubah sistem, karena ada orang yang korup di setiap posisi,” tutup Rashid.
Keengganan para pejabat untuk melakukan reformasi terkait kebijakan mendasar di negara itu adalah pusat kemarahan para nasabah. Apalagi, isu korupsi cukup kencang di negara ini. Albert Letayf, seorang bankir investasi terkemuka, jika reformasi di sector keuangan tidak segera dilakukan, maka akan terus mempersulit masyarakat dan para nasabah untuk mendapatkan uang mereka kembali.