Berdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948, yang diikuti dengan perang Arab-Israel di tahun yang sama, telah melahirkan konflik kawasan yang menempatkan Israel sebagai musuh bersama negara-negara Arab. Secara umum kemudian konflik kawasan ini menjadi isu dan istilah yang lebih sering mengemuka ketimbang konflik lokal antara Palestina dengan Israel.
Konflik kawasan ini kian menguat ketika Arab League Summit tahun 1967 yang digelar di Khartoum, Sudan melahirkan tiga deklarasi negara-negara Arab yang dikenal dengan The Three No’s, yaitu tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak ada pengakuan terhadap Israel dan tidak ada negosiasi dengan Israel.
Akan tetapi konflik kawasan yang melibatkan negara-negara Arab melawan Israel ini perlahan-lahan berubah menjadi konflik dalam skala yang lebih kecil, yaitu menjadi sekadar konflik lokal antara Palestina dan Israel.
Mundurnya sejumlah negara Arab dari kelindan konflik kawasan di sana, dimulai dengan kunjungan Presiden Mesir, Anwar Sadat ke kota Yerusalem pada 19 November 1977. Tak hanya itu, kunjungan Anwar Sadat ke Israel juga ditandai dengan penyampaian pidatonya di parlemen Israel, Knesset.
Saat itu Anwar Sadar sempat mengajak ulama Mesir untuk ikut menemaninya dalam perjalanan ke Yerusalem, namun almarhum Imam Besar Al Azhar, Syeikh Abdul Halim Mahmud secara tegas menolak ajakan tersebut.
Sebagaimana dicatat sejarah, Anwar Sadat kemudian menandatangani dua perjanjian yang cukup mengejutkan kala itu. Ia menandatangani perjanjian Camp David 1978 dan perjanjian damai Israel-Mesir di Washington DC pada Maret 1979.
Penandatanganan dua perjanjian ini menjadi titik balik yang cukup menentukan dalam sejarah hubungan Israel dengan negara-negara Arab. Apa yang dilakukan Anwar Sadat ini kemudian dianggap sebagai upaya pengkhianatan terhadap Palestina.
Anwar Sadat mendapatkan tentangan yang luar biasa dari kebijakannya itu. Demonstrasi besar-besaran menentang Sadat terjadi di Beirut dan beberapa kota Arab lainnya. Kantor EgyptAir meledak di Beirut dan Damaskus. Raja Khalid dari Saudi mengecam kunjungan Sadat. Yaser Arafat tiba-tiba meninggalkan Kairo dengan rasa tak percaya atas apa yang dilakukan Sadat. Liga Arab pun membekukan keanggotaan Mesir dan memindahkan kantornya ke Tunis. Bahkan Menteri luar negeri Mesir kala itu, Ismail Fahmi sampai mengundurkan diri dari jabatannya. Hingga pada akhirnya Anwar Sadat tewas dibunuh pada tahun 1981.
Begitulah dunia Islam kala itu, yang melihat kunjungan pemimpin negara Arab dan upaya normalisasi dengan Israel sebagai wujud pengkhianatan terhadap Palestina. Selama kurang lebih 14 tahun, Mesir menjadi satu-satunya negara Arab yang melakukan normalisasi hubungannya dengan Israel dimana Mesir punya kedutaannya di Tel Aviv dan Israel juga mempunyai kedutaannya di Kairo.
Hingga kemudian terjadilah perjanjian Oslo tahun 1993 antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel. Satu tahun berselang, diikuti Yordania yang juga melakukan normalisasi hubungannya dengan Israel.
Setelah perjanjian Oslo terjadi, mulai terdengar fatwa-fatwa para ulama yang membolehkan normalisasi hubungan dengan Israel termasuk fatwa Syeikh Bin Baz tahun 1994, yang pada tahun 2020 lalu, fatwa tersebut disebarkan kembali oleh pihak-pihak yang pro atas normalisasi hubungan dengan Israel yang dilakukan oleh Uni Emirat Arab.
Meski banyak ulama yang membolehkan normalisasi hubungan dengan Israel terutama pasca perjanjian Oslo, namun sebaliknya Imam Besar Al Azhar kala itu Syeikh Gad al-Haq Ali Gad al-Haq mengeluarkan fatwa yang cukup terkenal yaitu:
“Siapapun umat Islam yang mengunjungi Al-Quds (Yerusalem) maka dia berdosa! Berdosa! Alangkah baiknya bagi mereka agar berpaling dari mengunjungi Al-Quds hingga Al-Quds terbebas dari kenajisan para perampok Yahudi dan kembali kepada rakyat Palestina dengan aman dimana zikirullah diagungkan dan suara panggilan sholat dikumandangkan. Setiap muslim harus berjuang dengan semua kemampuannya untuk memerdekakan Al-Quds dan mesjidnya yang tertawan”.
Tak hanya itu, Syeikh Gad Al-Haq juga menolak bertemu dengan presiden Israel Ezer Weizman dalam kunjungannya ke Kairo pasca perjanjian Oslo. Beliau senantiasa mendukung gerakan perlawanan Palestina dan menegaskan bahwa pembebasan Palestina tidak akan terwujud kecuali dengan jihad fi Sabilillah.
Setelah Syeikh Gad Al-Haq wafat, penggantinya yaitu Imam Besar Al Azhar Syeikh Muhammad Sayyid Thanthawi juga menegaskan tidak bolehnya mengunjungi Yerusalem selama Yerusalem masih dalam penjajahan Israel. Karena hal tersebut sama saja dengan pengakuan legalnya penjajahan Israel terhadap Baitul Maqdis. Hanya saja, tahun 2008 dalam konferensi dialog antar agama di New York yang diselenggarakan oleh AS dan Saudi beliau sempat bersalaman dengan Shimon Peres, presiden Israel saat itu, hingga mengundang kecaman dari sebagian islamis.
Sikap yang sama juga diperlihatkan oleh Syeikh Ahmad Thayyib yang menjadi Imam Besar Al-Azhar tahun 2010 dimana beliau menegaskan bahwa ziarah ke Yerusalem sama sekali tidak memberikan maslahat terhadap umat Islam. Tahun 2018 Syeikh Ahmad Thayyib juga menegaskan sikap Al-Azhar terhadap Palestina dalam Muktamar Al-Quds di Kairo serta mengecam sikap Trump yang mengakui Yerussalem sebagai Ibukota Israel.
Terkait keputusan Trump, kemarahan Syekh al-Azhar ditunjukkan dengan menolak menemui Wapres AS Mike Pence. Selain itu, Syeikh Ahmad Thayyib juga berjanji akan memasukkan ‘permasalahan Palestina’ dalam kurikulum Al-Azhar.
Namun berbeda dengan sikap Imam Besar Al Azhar, pada April 2012, Mufti Mesir saat itu Syeikh Ali Jum’ah justru menziarahi Al-Quds hingga membuatnya dikecam banyak pihak, baik dari kalangan Al-Azhar maupun para aktivis Islam.
Majma’ Buhus Islamiyyah Al-Azhar mengumumkan akan melakukan rapat mendadak untuk mengumumkan penolakannya terhadap kunjungan Mufti ke Al-Quds. Sementara Syeikh Ali Jum’ah sendiri melakukan pembelaan bahwa ziarah ke Al-Quds bukan kunjungan resmi dan kunjungan tersebut disponsori sepenuhnya oleh Yordania tanpa menggunakan visa Israel.
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh penasehat presiden As-Sisi, Dr. Usamah Al-Azhari, pada September 2018 menyerukan umat Islam untuk mengunjungi Al-Quds melalui pemukiman Palestina, bukan via Tel Aviv, dan meminta peninjauan kembali fatwa Al-Azhar yang melarang kunjungan ke Al-Quds dibawah pendudukan Israel.
Dan yang masih hangat diperbincangkan saat ini adalah legitimasi dari ‘Mufti Emirat’ Syeikh Abdullah Bin Bayyah yang mendukung normalisasi hubungan Uni Emirat Arab-Israel dan menganggapnya sebagai hak Muhammad bin Zayed sebagai penguasa demi kemaslahatan negara serta menghentikan pencaplokan Tepi barat.
Kita bisa bersetuju atau tidak dengan fatwa para ulama tentang kunjungan ke Yerusalem dan normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel. Namun kita perlu mengakui bahwa setiap ulama memiliki argumentasi dan pijakannya masing-masing dalam berfatwa.
Apa yang dilakukan Uni Emirat Arab dengan melakukan normalisasi hubungannya dengan Israel akan menjadi pemicu bagi negara-negara Arab lain untuk mengambil langkah yang sama secara terang-terangan, bukan lagi hubungan malu-malu seperti yang dilakukan beberapa negara Arab selama ini.
Jika di masa lalu para pemimpin Arab bersepakat menjadikan Israel sebagai musuh bersama, saat ini umat Islam agaknya harus mulai menerima kenyataan bahwa mayoritas pemimpin Arab saat ini sudah melihat Israel sebagai sebuah negara yang memiliki legitimasi untuk hidup di tanah jajahan dan berdampingan mesra dengan negara-negara Arab.