Seorang ulama muda yang mengenakan jubah dan serban khas Al Azhar, Kairo, berjalan menghampiri sebuah kapal layar berbendera Prancis, La Truite, yang sudah bertambat di Pelabuhan Iskandaria sejak seminggu yang lalu. Melangkah di jembatan untuk naik ke atas kapal, membuat Syaikh Rifa’ah al Thahthawi meninggalkan tanah Mesir untuk yang pertama kali dalam hidupnya.
Tepat hari ini, 13 April 1826, atau 197 tahun yang lalu Rifa’ah al Thahthawi berangkat menuju Prancis sebagai imam yang ditunjuk untuk memimpin delegasi misi dan beasiswa pendidikan besar pertama Gubernur Mesir, Muhammad Ali Pasha. Rifa’ah al Thahthawi sendiri terpilih atas rekomendasi gurunya Syaikh Hasan al Attar, imam besar al Azhar pada masa itu.
Rombongan itu berjumlah 44 orang, dengan 18 diantaranya asli Mesir dan berbahasa Arab. Sementara selebihnya berbahasa Turki, dan mencerminkan keragaman kebangsaan Khilafah Utsmaniyah yang kala itu masih meliputi Mesir, Sirkasia, Yunani, Georgia dan Armenia. Mereka dipilih oleh Gubernur Mesir untuk mempelajari Bahasa-bahasa dan ilmu Barat, dan ketika mereka kelak kembali dapat mereformasi kampung halamannya dengan ilmu yang sudah dipelajari selama di Prancis.
Keberangkatan Rifa’ah al Thahthawi ke Perancis menandai tonggak reformasi Mesir sebagai sebuah provinsi otonom Utsmaniyah yang mengawali lahirnya gerakan modernisasi dalam bidang ekonomi, militer, teknologi dan pendidikan di Timur Tengah.
Lahir dari keluarga hakim dan ulama terkenal di sebuah desa kecil di kawasan Mesir Hulu, Tahta Suhaj, Al Thahthawi telah hafal al Quran dan belajar agama Islam sejak kecil, hingga akhirnya meneruskan pendidikannya di Al Azhar. Setelah menamatkan pendidikannya, ia kemudian ditunjuk untuk mengajar setelah akhirnya bertugas di jajaran pemerintahan sebagai imam di salah satu divisi infanteri elit modern bernama Nizami.
Dalam perjalanannya, Al Thahthawi, membawa sebuah buku catatan kosong untuk mencatat setiap kesannya tentang Prancis. Tidak ada satu hal pun yang ia anggap terlalu sepele sehingga bisa lepas dari pengamatannya. Ia mencatat bahkan cara orang Prancis membangun rumah, mencari nafkah, mempraktikkan agama, cara mereka membangun sistem keuangan dan pendidikan, hubungan antara laki-laki dan perempuan hingga cara mengatur meja makan.
Al Thahthawi menulis catatannya selama di Prancis dengan rasa ingin tau dan hormat, namun juga diiringi sikap kritis. Berabad-abad lamanya bangsa Eropa telah melakukan perjalanan ke Timur Tengah dan menulis sejumlah buku tentang kebiasaan dan kehidupan orang-orang eksotis yang mereka lihat di sana. Sekarang, untuk kali pertama dalam sejarah, seorang Mesir membalikkan situasi dan menulis tentang negara aneh dan eksotis bernama Prancis.
Ketika tiba di Paris, Al Thahthawi menyadari betapa jauhnya dunia Islam tertinggal di belakang bangsa Eropa dalam ilmu pengetahuan dan meyakini dunia Islam memiliki kewajiban dan hak untuk mengembalikan pengetahuan ini, mengingat bahwa kemajuan Barat sejak zaman Renaisans telah dibangun di atas kemajuan ilmu pengetahuan Islam di abad pertengahan.
Dia berpendapat, misinya di Prancis sebagai perwakilan Utsmaniyah hanya sedang menagih utang bangsa Barat atas ilmu pengetahuan Islam ketika meminjam kemajuan bangsa Eropa dalam teknologi modern.
Diantara yang paling membuatnya terpesona selama di Paris adalah bagaimana konstitusi Prancis mengutamakan hak-hak warga negara biasa alih-alih memperkuat dominasi kaum elit. Diantara pasal konstitusi yang paling membuat Al Thahthawi terkesan adalah penegasan kesetaraan semua warga negara di hadapan hukum dan kelayakan semua warga negara untuk menduduki jabatan apapun terlepas dari statusnya. Dengan demikian menurutnya, kemungkinan sirkulasi elit bisa lebih dinamis, yang akan mendorong orang-orang untuk belajar, sehingga peradabannya tidak akan mandek.
Dalam kepentingan tersebut, Al Thahthawi bahkan menerjemahkan 74 pasal konstitusi Prancis 1814 atau charte constitutionelle, dan menulis analisis mendetil atas setiap pasal tersebut. Pujian Al Thahthawi untuk pemerintahan konstitusional adalah Tindakan berani pada zamannya. Sebab pemerintahan konstitusional merupakan gagasan baru dan berbahaya yang belum pernah dicontohkan dalam pemerintahan Islam manapun kala itu.
Apalagi Mesir, di bawah Muhammad Ali merupakan negara sewenang-wenang dan Khilafah Utsmaniyah adalah monarki absolut. Sebuah tawaran tentang pemerintahan dengan parlemen atau pembatasan kekuasaan monarki akan dipandang sebagai sesuatu yang asing dan subversif oleh kaum elit.
Setelah lima tahun yang mengesankan di Paris, Rifaah Al Thahthawi kembali ke Mesir pada 1831, dan memimpin sebuah biro penerjemahan besar milik pemerintah. Tugas utamanya adalah menyediakan pedoman teknis Eropa dalam Bahasa Arab untuk kepentingan reformasi ekonomi, teknologi dan pendidikan bagi pemerintahan Muhammad Ali Pasha.
Ketika buku catatan hariannya selama di Prancis diterbitkan pada 1834, itu menjadi mahakarya yang mengguncang dunia Arab, yang dengan segera diterjemahkan dalam berbagai bahasa, seperti Arab, Turki, Persia, Prancis, Inggris dan Spanyol.
Dalam karya-karyanya, Al Thahthawi menjelaskan secara terperinci tentang kemajuan bangsa Eropa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta analisisnya tentang filsafat politik zaman pencerahan. Pemikirannya kemudian mempengaruhi ulama-ulama lainnya seperti Muhammad Abduh. Dan buku-buku Al Thahthawi terbukti menjadi titik balik bagi reformasi pemerintah Utsmaniyah dan bangsa Arab pada abad ke 19.