Pada sore Rabu yang menyengat tanggal 12 April minggu lalu, seorang laki-laki ditemukan meninggal dunia dengan posisi lehernya tergantung di sebuah pondok di pantai Ulee Lheu, Banda Aceh. Laki-laki itu hanya mengenakan singlet putih, dengan celana berwarna hijau army tanpa alas kaki.
Polisi memastikan ia bunuh diri. Bersamanya tidak ditemukan identitas apapun, orang-orang yang datang dengan kecamuk rasa terkejut juga tak mengenal pemilik jasad itu. Aparat memperkirakan usianya sekitar 40 tahunan. Masih cukup muda.
Saya menyaksikan video penemuan mayat yang beredar luas di lini masa ini dengan hati yang remuk: mengingat gerlap hari raya di depan mata. Mungkin mayat itu adalah seorang ayah. Sementara di rumah, anak-anak sedang menunggu kepulangan dirinya, berharap hari-hari ini ayah mereka akan membelikan baju baru, seperti teman-teman lain yang sudah lebih dulu punya.
Namun bisa jadi ia hanya seorang suami atau seorang anak, atau justru ia bukan siapa-siapa dan tidak pernah dianggap ada bahkan mungkin oleh lingkungan tempat dirinya hidup bertetangga. Sehingga betapa pun menderita dan sekaratnya hidup yang ia hadapi takkan ada yang tau atau peduli.
Dalam banyak kolom komentar di media sosial, banyak orang yang mengambil alih hak Tuhan dengan menganggap si pemilik jasad ini sebagai kufur. Tak sedikit pula yang menduga-duga, dengan nada nyinyir.
Begitulah dunia ini, bahkan sudah menjadi mayat pun, kita masih saja menerima amuk nyinyir.
Dalam setahun terakhir, kabar orang Aceh yang bunuh diri makin sering terdengar. Tentu saja setelah menjadi mayat, mereka selalu mendapatkan tuduhan sebagai lemah iman karena tidak sanggup menahan kepahitan hidup. Begitu diketahui motif dibalik upaya bunuh diri ini adalah tekanan ekonomi, orang-orang menjadi ribut dan dilanda rasa panik, sambil menunjuk dan menyalah-nyalahkan; kok bisa ada orang yang imannya selemah itu, hanya gara-gara kesulitan ekonomi nekat menghabisi nyawanya sendiri. Beberapa oknum penceramah menggambarkan fenomena ini sebagai tanda-tanda kiamat.
Dalam data milik Pemerintah Aceh, atau pemerintah kabupaten/kota, kita tidak akan menemukan angka-angka yang menghitung secara pasti berapa jumlah masyarakat Aceh yang bunuh diri tiap tahun. Juga tidak akan pernah ada pengungkapan untuk menggali penyebab yang melatari maraknya tren bunuh diri ini dan jalan keluar atas kondisi ini. Tak ada kekhawatiran apapun. Pemerintah di Aceh dalam semua tingkatan agaknya lebih senang memanfaatkan dalil agama, seperti faktor lemahnya iman, untuk menjelaskan tren bunuh diri ini.
Dan ini menjadi cara paling efektif pula untuk menyembunyikan fakta bahwa sebagian besar warga Aceh melakukan bunuh diri karena derasnya tekanan ekonomi.
Tapi bagaimana sebenarnya wajah ekonomi dan kemiskinan di Aceh? Kita tidak akan menemukan apapun saat membaca data yang dilaporkan pemerintah Aceh selain cuma angka-angka dan persentase. Cara Pemerintah Aceh mengumumkan naiknya angka kemiskinan telah mengingatkan kita kepada pialang saham saat menyodorkan analisis menguat atau jatuhnya harga saham. Tanpa beban, seolah itu hanya angka-angka mati yang tidak menyangkut hidup atau sekaratnya manusia Aceh.
Akan tetapi jika hari ini kita berkunjung ke pusat-pusat perbelanjaan rakyat, kita akan menemukan suasana lesu, mencekam dan suram. Di Banda Aceh, Pasar Aceh yang ikonik telah menjadi sepi bukan main. Seorang pedagang baju di sana mengatakan bahwa saat ini adalah kondisi paling buruk yang pernah ia alami dalam 10 tahun terakhir, terutama tiap kali menjelang hari raya.
Di media sosial, terutama Tiktok, pedagang-pedagang di seluruh kota dan pasar kecamatan di Aceh menceritakan dengan putus asa toko-toko mereka yang lengang, bahkan mencekam tanpa satu pun pelanggan yang datang. Padahal hari raya tinggal beberapa hari lagi.
Lantas bagaimana Pemerintah di Aceh menangani kondisi ini? Selain cuma menyelenggarakan urusan administrasi, nyaris tak ada terobosan apapun yang dilakukan pemerintah. Politik anggaran pun sama sekali tidak memihak rakyat, ditandai dengan belanja pegawai yang tiap tahun membengkak dan kecilnya anggaran untuk pengentasan kemiskinan yang hanya sebesar 6,7 persen dari total APBA.
Akan tetapi Pemerintah Aceh dan sebagian pemerintah kabupaten/kota, secara lihai berhasil menggunakan wajah agama untuk menutupi buruknya kinerja publik mereka. Dan hebatnya lagi birokrasi kita berhasil mereduksi makna syariat Islam menjadi seputar soal-soal ritus ibadah, khususnya dalam konteks ranah privat saja. Ini dapat kita lihat dalam bagaimana cara kalangan birokrat kita memaknai syariat Islam dengan rutin mengadakan zikir bersama di kantor sebelum bekerja. Padahal zikir paling utama bagi ASN saat berada di kantor adalah totalitas dan integritasnya dalam bekerja.
Dalam banyak kasus Pemerintah Aceh seolah menempatkan dirinya sebagai lembaga dakwah yang ma’sum dan pengatur moral masyarakat.
Seminggu sebelum bulan puasa tiba, saya pernah melihat sebuah papan reklame besar milik Dinas Syariat Islam yang mengutip hadits Nabi SAW tentang perintah wajibnya menutup aurat. Tak ada yang salah dari mencetak besar hadits Nabi SAW. Tetapi yang keliru adalah mengapa Dinas Syariat Islam sejak dulu hingga sekarang hanya mengurusi soal-soal yang bisa diselesaikan oleh pemerintah gampong.
Jika kita berani untuk jujur, sebenarnya qanunisasi syariat Islam telah mendudukkan masyarakat Aceh sebagai jahiliyah yang seolah baru masuk Islam. Ayolah memang hari ini ada berapa banyak perempuan Aceh yang tidak berkerudung, atau laki-laki yang tidak menutup aurat. Soal-soal seperti ini tidak perlu lagi ditertibkan sebab kultur dan kebudayaan kita yang islami sudah mengaturnya lebih dulu.
Kita perlu menggeser paradigma qanunisasi Syariat Islam di Aceh dari semangat dakwah Islam periode awal yang dilakukan Nabi SAW saat di Mekkah, ke spirit membangun peradaban seperti dalam periode Madinah.
Sebab masyarakat Aceh sudah bersyariat, yang belum justru pemerintahannya. Jika dapat diibaratkan, masyarakat Aceh adalah sebuah tempayan yang sudah tidak lagi bernajis, sementara pemerintah Aceh adalah gayung yang masih bernajis mughallazah. Bagaimana mungkin anda mengaku bahwa air yang sudah anda isi dalam tempayan itu suci dan menyucikan sementara gayung yang anda gunakan masih bernajis
Jadi sucikan dulu pemerintahannya dari najis-najis berat, baru kita bangun peradaban dan bicara konsep Syariat Islam.