Ihsan Ali Fauzi dalam sebuah artikel di Jurnal Prisma yang terbit pada 1991, pernah mempertanyakan kenapa pemikiran Islam Indonesia hanya bersifat respon singkat atas suatu gejala sosial keagamaan dan tidak menjadi gagasan utuh yang dapat menjawab sebuah persoalan secara tuntas.
Respon ini biasanya bersifat aksidental dan kerap muncul dalam wujud opini koran, majalah atau buletin. Kemudian respon-respon atas setiap gejala sosial keagamaan kerapkali dihimpun dan diterbitkan dalam sebuah buku dengan tema wacana pemikiran Islam.
Buku Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan karya Nurcholish Madjid dan Relevansi Islam Wasathiyah karya Azyumardi Azra misalnya menjadi buku yang paling populer, meskipun penggolongannya kurang akurat, setidaknya kedua tokoh ini dapat dikatakan sebagai bagian dari kelompok sarjana Indonesia yang menanggapi setiap gejala sosial lewat respon singkat. Kelompok ini tentu saja tidak relevan diketengahkan untuk menjawab pertanyaan besar tadi, karena responnya atas gejala sosial muncul secara aksidental dan dikonsumsi di Indonesia saja.
Kemudian ada peristiwa yang muncul secara berulang dan berstatus sensitif dalam kehidupan masyarakat terkait keberagamaan, misalnya mengenai konflik antar umat beragama dan masa depan masyarakat muslim. Respon atas peristiwa semacam ini bersifat lebih sistematis dan mendalam. Islam Aktual karya Jalaluddin Rakhmat dan Paradigma Islam karya Kuntowijoyo, bisa dimasukkan dalam golongan kedua sarjana Islam Indonesia yang merespon gejala sosial menggunakan pendekatan induktif, yakni mengamati masalah dari salah satu peristiwa, misalnya konflik antar umat beragama. Biasanya memang pendekatan induktif juga tidak memberikan solusi tuntas.
Di samping itu, para pemikir Islam, khususnya pada masa Orde Baru, umumnya memang tidak punya pretensi pemikiran yang dapat diterima negara lain. Itu karena mereka memang menyiapkan diri untuk merespons problematika sosial agama di Indonesia saja. Sehingga wacana pemikiran Islam Indonesia hanya kompatibel untuk negeri kita saja.
Teman saya mengatakan, kenapa wacana pembaruan pemikiran Islam yang ditulis oleh pemikir Islam mancanegara seperti Fazlur Rahman, Ali Syariati, Nasr Hamid Abu Zayd, Ismail Raji Al-Faruqi, Muhammad Arkoun, Hassan Al-Turabi, Abdullahi Ahmed An-Na’im, Seyyed Hossein Nasr, dan banyak pemikir lainnya bisa begitu mendunia.
Menurut teman saya, itu karena gagasan-gagasan mereka cenderung bersifat universal, sehingga mudah diterima di berbagai negara muslim. Dalam mengkaji suatu persoalan, mereka juga menggunakan metode yang populer dan sistematis.
Berbeda dengan pemikir Indonesia yang kurang memerhatikan pendekatan dalam menganalisis suatu persoalan. Lagi pula, sebenarnya tidak semua negara muslim mengonsumsi gagasan-gagasan tokoh pemikiran Islam dunia di atas. Banyak negara muslim juga sangat protektif atas isu-isu pembaruan. Menurut saya, Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara muslim yang sangat terbuka dalam moderasi pemikiran keagamaan.
Juga, gagasan-gagasan para pemikir Islam dunia yang disebutkan di atas adalah abstraksi dari kasus-kasus yang telah, dapat, dan mungkin terjadi dalam semua negara muslim, sehingga gagasan-gagasan mereka mudah diterima masyarakat luas. Di samping itu, gagasan-gagasan demikian lebih bersifat teoritis. Kalaupun ada analisis kasus yang dikemukakan dalam suatu konteks diskursus, ia tidak hanya menjadi keresahan satu negara Muslim saja, akan tetapi menjadi persoalan bagi negara-negara Muslim lainnya juga.
Selain itu, gagasan-gagasan para pemikir Islam dunia tersebut ditulis dalam bahasa Inggris, sebuah bahasa yang dianggap sebagai bahasa persatuan planet bumi. Sementara itu, saya tidak yakin ada satu persen orang Indonesia yang mampu berbahasa Inggris dengan baik. Bahasa dapat dikatakan sebagai kendala utama pemikiran Islam⸺dan bahkan setiap ilmu pengetahuan yang dihasilkan di Indonesia⸺untuk dapat dikonsumsi masyarakat dunia.
Seorang dosen saya pernah mengatakan, kualitas Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab setara dengan tafsir-tafsir lain yang dikarang dalam bahasa Arab. Bahkan menurut saya sendiri, Tafsir Al-Misbah lebih baik dari beberapa tafsir yang saya kenal. Tetapi Tafsir Al-Misbah tidak dilirik dunia, bahkan oleh negara-negara muslim lain, karena ditulis dalam bahasa Indonesia. Saya berpikir kenapa Tafsir Al-Misbah tidak diterjemahkan saja ke dalam bahasa Arab, lalu diterbitkan oleh penerbit kitab-kitab populer seperti Dar Al-Fikr di Damaskus.
Namun untuk usaha menerbitkan sebuah karangan, memerlukan pengakuan dunia intelektual muslim juga. Dengan demikian, selain bahasa, kendala lainnya yang dihadapi dalam dunia intelektual Islam Indonesia adalah, sejauh mana pengakuan dunia atas tradisi dan kualitas intelektual muslim Indonesia. Dalam konteks ini, intelektual muslim India selama ini telah dianggap mengungguli Indonesia dalam upaya mendapatkan pengakuan dunia.
Mungkin dapat dikatakan pemikiran muslim India lebih diakui dunia karena negara itu punya akses bahasa Inggris yang lebih baik. Bahkan di India terdapat beberapa penerbit internasional yang sering menerbitkan buku pemikiran Islam dalam bahasa Inggris. Akses bahasa Inggris orang India tentu saja jauh lebih baik dibandingkan orang Indonesia.
Demikian juga Malaysia, mereka punya akses bahasa Inggris yang lebih baik daripada Indonesia, meskipun wacana pemikiran Islam tidak terlalu berkembang di sana. Hanya beberapa nama intelektual seperti Naquib Al-Attas dan Osman Bakar saja yang diperhitungkan. Namun demikian, pemikiran mereka tetap saja tidak terlalu dilirik dunia.
Antara Al-Attas dan Ismail Al-Faruq misalnya, mereka berdua memang sama-sama mengusung konsep islamisasi ilmu. Meskipun konsep Al-Attas seringkali diklaim oleh penggemarnya lebih mendalam, sistematis, dan sebagainya. Akan tetapi pemikiran Al-Faruqi, dibandingkan Al-Attas mendapatkan perhatian yang lebih luas dalam dunia pemikiran Islam.
Berangkat dari kasus ini, dapat diasumsikan bahwa pemikiran Islam di Indonesia atau di Malaysia, kurang menjadi perbincangan intelektual Islam dunia, bukan semata karena faktor bahasa, tapi juga karena faktor lainnya. Mungkin juga karena letak geografis Indonesia dan Asia Tenggara yang jauh dari pusat ilmu pengetahuan yang sedang berkembang hari ini yakni Eropa dan Amerika Serikat. Faktor tradisi juga berkemungkinan memberi pengaruh. Sebagai contoh kasus, dalam ensiklopedia spiritualitas Islam, tasawuf Hamzah Fansuri hanya disinggung sepintas.
Penyebab kajiannya yang menggunakan bahasa non Arab dan Inggris, tentu saja berperan membuat pemikiran Hamzah Fansuri menjadi kurang menarik minat pengkaji kelas dunia. Kajian Hamzah Fansuri dan pemikiran dunia Melayu lainnya biasanya hanya menarik minat sebagian kecil sarjana kelas dunia yang mengambil studi kawasan.
Dapat disimpulkan, meskipun wacana pemikiran Islam di Indonesia sangat progresif, ia hanya menjadi objek kajian segelintir pemikir kelas dunia. Itupun wacana pemikiran Islam Indonesia menjadi hanya sebagai objek penelitian saja, bukan mengambil semangat pemikirannya. Ia menjadi objek kajian seperti yang dilakukan Drewes, Doorenbos, Braginsky, dan beberapa sarjana lainnya dalam lingkup karya klasik dan kajian kontemporer seperti yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje, Carool Kersten, Martin van Bruinessen, Greg Barton, Kevin Fogg.
Menjadikan pemikiran Islam di Indonesia sebagai objek kajian, juga dilakukan oleh sarjana Indonesia sendiri seperti Azyumardi Azra, Yudi Latif, Deliar Noer, dan beberapa nama lainnya. Karya-karya mereka memang ditulis dan beredar dalam bahasa Inggris. Namun tidak menjadi bahan kajian arus utama dalam dunia pemikiran Islam Internasional. Kajian-kajian mengenai Timur Tengah, Turki, Afrika Utara, dan India, masih lebih berkembang.
Dalam hal inilah, antara lain yang mendorong Azyumardi Azra melakukan usaha pengarusutamaan (mainstreaming) Islam Asia Tenggara. Salah satu isi agenda utama Azyumardi Azra adalah Islam Nusantara. Yakni pemikiran Islam otentik yang dikembangkan di Indonesia sebagai tawaran mengenai bagaimana Islam di Indonesia dan tentunya Asia Tenggara berharmoni dengan budaya setempat.
Konsep orisinalitas Indonesia ini telah dibangun secara sistematis oleh para pemikir seperti Azymardi Azra, Ahmad Baso, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, dan beberapa intelektual lainnya. Dalam hal ini, filsafat Islam Nusantara perlu dikembangkan secara lebih sistematis sehingga dapat menjadi teori yang kukuh untuk ditawarkan kepada dunia tentang bagaimana membangun sintesis antara ajaran Islam dengan budaya lokal tempat Islam dikembangkan.
Dalam hal ini, saya ingin menyimpulkan kenapa pemikiran Islam Indonesia tidak mendunia. Pertama, karena studi Islam Indonesia tidak memiliki akar tradisi yang kuat.
Kajian tasawuf seperti yang pernah dikembangkan Hamzah Fansuri dianggap sebagai bagian dari kajian Ibn ‘Arabian. Meskipun padahal, Ajaran Syaikh Siti Jenar sebenarnya bisa ditemukan distingsi dibandingkan ajaran Ibn ‘Arabian.
Sehingga sebenarnya, kajian atas ajaran Syaikh Siti Jenar dapat menjadi stimulus memajukan kajian pemikiran Islam Indonesia. Bahkan perlu sebuah kajian komprehensifuntuk menjadikan ajaran Syaikh Siti Jenar sebagai akar metafisika Islam Nusantara, sebagaimana pernah diulas oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, yakni menjadikan ajaran Hamzah Fansuri sebagai akar metafisika Islam Nusantara. Saya menduga, kajian ajaran Syaikh Siti Jenar akan menjadi lebih solid apabila dijadikan akar metafisika Islam Nusantara.
Kedua, kawasan Indonesia dan Asia Tenggara, tidak menjadi perhatian serius para sarjana dunia, khususnya dalam kajian Islam. Umumnya mereka masih menduga orang Asia Tenggara lebih kurang islami daripada muslim lainnya seperti di Timur Tengah, Afrika, dan India.
Bisa saja anggapan ini muncul karena orang Islam di Asia Tenggara tidak mengenakan simbol-simbol keislaman yang lebih mencolok seperti yang dilakukan Muslim Timur Tengah dan Afrika Utara.
Namun sebenarnya, tidak menggunakan simbol Islam seperti yang digunakan di Timur Tengah adalah bukti dari keberhasilan harmonisasi antara agama dengan budaya lokal. Padahal, hubungan antara Islam dan budaya lokal yang berhasil di Indonesia dapat menjadi bahan penting⸺bagi bagaimana Islam, kebudayaan, dan sains, dan sebagainya⸺dapat menyatu dalam harmoni.
Dalam hal ini, Islam Nusantara penting bagi muslim dunia, dan juga penting dijadikan kajian serius dalam studi pemikiran Islam dunia. Karena masalah utama yang dihadapi masyarakat modern yang amat multikultural adalah bentrokan antar identitas. Mereka kesulitan menemukan harmonisme antar identitas. Islam di Indonesia, berhasil mengatasi masalah demikian.
Ketiga, tradisi keilmuan Islam Indonesia dipandang hanya sekadar catatan kaki dari tradisi keilmuan Islam dunia. Kajian filsafat Islam di Indonesia tidak menunjukkan bukti eksistensinya. Kita hanya mengkaji fikih dan ilmu kalam yang dihasilkan di Timur Tengah.
Kajian-kajian itu dipelajari untuk i’tikad dan amalan. Demikian juga tasawuf yang menjadi arus utama adalah tasawuf amali dari Al-Ghazali. Meskipun pada masa lalu beberapa karya ulama Nusantara diterbitkan dan dipelajari di Timur Tengah, namun semua itu hanya ringkasan atau ulasan dari keilmuan teologi, fikih, dan tasawuf karya para ulama Timur Tengah.
Tasawuf filosofis yang sempat berkembang adalah ajaran Hamzah Fansuri yang digolongkan hanya sebagai ajaran Ibn Arabian dengan corak Melayu. Tidak banyak yang tahu perbedaan-perbedaan metafisika Ibn ‘Arabi dan Hamzah Fansuri. Filsafat Peripatetik Islam seperti ajaran ajaran Ibn Sina, juga tidak ada bukti pernah dipelajari dan dikembangkan di Indonesia. Kita hanya memiliki pengalaman mempelajari ilmu mantik, bukan untuk filsafat, tapi sebagai bekal kajian teks fikih.
Keempat, kalaupun kita punya gagasan besar dan penting, tapi bila tidak dapat dipahami oleh masyarakat dunia karena tidak menggunakan bahasa global, yakni bahasa Inggris, maka besar kemungkinan gagasan itu tidak akan mendunia.
Tapi jangan-jangan sebaliknya. Kalaupun berbahasa Inggris, jika gagasannya kurang menarik, kurang signifikan, kurang sistematis, dan seterusnya, andai pun diseminasikan dalam bahasa Inggris, tetap tidak akan mendunia. Sebaliknya, kalaupun menggunakan bahasa Indonesia, bila ia dianggap penting, signifikan, mendesak, kontributif, solutif, pasti akan ada yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lainnya. Jadi, saya kurang yakin jika bahasa menjadi faktor penentu.
Dengan demikian, kurangnya tradisi keislaman yang orisinal, menjadi faktor utama pemikiran Islam di Indonesia tidak mendunia. Meskipun demikian, beberapa wacana kontemporer dalam kajian pemikiran Islam Indonesia, seperti Islam Nusantara, punya peluang mendunia. Sekali lagi, karena dunia saat ini butuh mekanisme bagaimana mengatasi benturan antar identitas.
Sementara Indonesia telah berhasil mewujudkan Islam yang mampu berjalan secara harmoni dengan budaya lokal. Islam Indonesia juga berhasil melakukan harmonisasi dengan gagasan modern seperti demokrasi. Bila ingin melihat Islam harmoni dengan demokrasi, kata seorang politikus Amerika Serikat, datanglah ke Indonesia. Islam harmoni yang digambarkan dalam Islam Nusantara, adalah peluang untuk menjadikan pemikiran Islam Indonesia mendunia.
Terakhir, saya menaruh keyakinan pada ajaran Syaikh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri. Saya yakin ajaran keduanya bukan sekedar versi Jawa dan Melayu dari ajaran Ibn ‘Arabi. Saya menduga, Metafisika yang mereka ajarkan adalah harmoni antara metafisika Nusantara masa lalu dengan metafisika Islam. Jadi, ajaran dua mistikus ini perlu digalakkan, karena dapat memberikan orisinalitas pada pemikiran Islam Indonesia.