Kampus ini sekarang punya gedung besar yang menampung semua aktivitas perkuliahan dan semua fakultas dijejal jadi satu. Gedung terintegrasi namanya. Di dalamnya, orang-orang berjalan dengan tatapan mata lurus, langkah tegap, sambil memanggul atau menenteng tas. Lihatlah. Kebanyakan wajah mereka diam, dingin, dan wangi. Hanya sedikit yang terlihat rileks. Lalu, dingkit-berdingkit mereka mulai memasuki ruang-ruang penuh AC yang dinginnya 16 °C sebelum keluar dengan wajah masygul. Mata kuliah dan beban tugas dari dosen penyebabnya.
Kampus ini menelentang dari ujung ke ujung. Dari lorong ke lorong: dingin, kaku, mewah, dan bergegas. Etalase-etalase tampak gemerlapan. Di dalamnya, dinding-dinding dipenuhi capaian dan penghargaan tampak menjemukan. CCTV di mana-mana, seakan-akan kita selalu diawasi.
Dari semua keboyakan itu, satu tempat yang membuat semua mencair, dan rileks adalah kantin. Kantin dikelilingi pohon-pohon rindang, wajah-wajah ekspresif, yang memanusiakan manusia.
Di tempat yang sering tersepelekan karena tempatnya yang sederhana, orang-orang datang tanpa atribut, semua membaur dan melebur. Tempat itu memang penuh kepulan asap rokok, mulut-mulut saling berpacu, berdiskusi atau mengghibah.
Namun, setidaknya tempat itu adalah ruang terbuka yang tidak terbungkus oleh beton-beton angkuh. Di bawah pohon-pohon rindang itu pula, segala hal berkelindan. Dari seloroh konyol, debat kecil, sampai menyelesaikan tugas bersama.
Ironis. Di kampus yang dinobatkan sebagai kampus terhijau ke-23 dari 101 kampus yang ikut dalam UI Greenmetric dan terhijau di Aceh oleh UI Green Metric University tahun 2021, itu pohon-pohon sumber kehidupan ditebang, dicincang-cincang seperti tak berguna. Bukankah pohon-pohon yang ada di sekitar kantin Universitas Teuku Umar itu telah memberikan oksigen, menyerap racun yang kita ciptakan sendiri, melindungi kita dari panas terik matahari, serta menyokong sumber penghidupan para pedagang yang berjualan di sana?
Akan tetapi, pada setiap upaya yang menggencet dan mengusir selalu ada yang menguat. Meski kantin-kantin itu sekarang menjadi panas karena kehilangan pohon-pohon yang selama ini menjadi penghalau sinar matahari telah hilang, tetap ada orang-orang yang bertahan di sana. Inilah bukti bahwa tempat itu dibutuhkan. Dari sana, kita bisa menerabas dimensi. Ini dua dunia yang amat berbeda. Lihatlah gedung-gedung besar itu: di dalamnya orang-orang saling bersaing, memperebutkan jabatan, nilai, dan menyalahgunakan privilese.
Lalu alihkan pandangan ke kantin, di mana orang-orang saling berinteraksi. terkadang saling teraktir. Dari hanya duduk menikmati pesanan sampai berbincang tentang hal-hal aneh di kampus. Ya, hal-hal aneh. Bisa jadi, perbincangan-perbincangan tersebutlah yang menjadi alasan di balik keputusan manajemen kampus untuk menebang pohon-pohon tersebut. Karena pohon pohon itu telah mencerahkan otak-otak mereka yang bernaung di bawahnya? Meski kini kantin menjadi panas, tetap ada orang-orang yang bertahan. Yakinlah bahwa kantin bukan cuma tempat di mana transaksi jual beli berlangsung. Dari semua jelak dan pasai aktivitas kampus, hanya di kantin orang-orang bisa kembali menjadi manusia. Seutuhnya.