Gairah dakwah di media sosial saat ini sedang hebat-hebatnya. Saban hari ada pengajian, daurah, tabligh, atau hanya kajian ringan yang ditayangkan secara langsung atau rekaman yang memenuhi kanal-kanal Youtube dan media sosial lainnya. Ini dapat menjadi pertanda baik, tapi cukup membikin khawatir sebagian agamawan.
Menjadi pertanda baik karena hadirnya dakwah dalam ruang-ruang media sosial makin memudahkan para da’i menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Ini juga membuat akses terhadap dakwah bukan hanya bisa dinikmati oleh kalangan di sekitar da’i atau tempat-tempat tertentu. Semua orang dari mana saja bisa menggapai hidayah dari keberadaan media sosial dengan sangat mudah.
Yang mengkhawatirkan tentu bukan tentang perkara penyiar yang memanfaatkan dakwah untuk kepentingan komersial atau pengisi acara yang bisa jadi berhasrat mendulang popularitas, itu adalah urusan pribadi dan agama tidak memerintahkan siapapun untuk menyelidik niat orang lain. Yang jelas secara lahir kita hanya dapat melihat para pegiat dakwah di media sosial sudah menyampaikan kebaikan dan harusnya dapat pahala, selebihnya biarlah menjadi urusan mereka dengan Tuhan.
Namun, yang cukup mengkhawatirkan dan menjadi perhatian para agamawan dari fenomena ini adalah terbukanya peluang bagi siapa saja untuk menyampaikan pesan-pesan agama. Punya ilmu atau tidak, keilmuannya kredibel atau nihil, semua bisa mengudara sesukanya. Tak peduli pernah mengecap pendidikan agama atau tidak, media informasi kiwari memberi tempat untuk semua orang untuk berdakwah.
Pada gilirannya, fatwa-fatwa juga ikut tersebar dengan mudah. Benar dan akurat sebuah fatwa sudah tidak lagi relevan, yang penting adalah orang-orang sudah merasa mengamalkan: “sampaikan dariku, walau satu ayat.”
Menyampaikan hukum agama yang dulu dihindari oleh para ulama karena tanggungjawabnya bukan hanya di dunia, kini menjadi rebutan semua kalangan. Makin banyak fatwa, seolah makin mantap.
Sementara masyarakat juga sudah terbiasa dengan geliat dakwah dan kemudahan mencari tau persoalan hukum agama di kanal-kanal Youtube. Tinggal ketik pertanyaan tentang hukum suatu perkara, voila!, semua video terkait jawaban dari berbagai mazhab dan aliran siap tersedia untuk dijadikan rujukan. Dari pendapat kuat sampai jawaban yang ngasal, semua muncul dengan penuh pesona.
Di titik ini, melarang orang awam untuk tidak mengikuti pendapat tertentu atau menganjurkan mereka untuk memilih fatwa dari sumber yang kredibel adalah sebuah usaha sia-sia. Di samping bahwa fatwa tidak mengikat, sebab hanya segelintir saja yang mau hati-hati dalam urusan hukum agama, sisanya adalah “penganut” mazhab Youtube semata yang hanya mau mendengar apa yang ingin didengarnya.
Kenyataan ini bukan perkara baru. Sejak dahulu memang ada saja pengobral fatwa meski tak berhak untuk berfatwa. Dari dulu orang awam memang begitu, kalau ada fatwa yang cocok dengan selera atau penyampainya elok di pandang mata, ya tinggal comot dan amalkan.
Kenyataan tersebut saat ini telah berlangsung secara sporadis dan cukup menggoda. Siapapun yang memiliki sedikit pengetahuan dan punya saluran pelampiasan, langsung merasa terpanggil untuk mengeluarkan fatwa. Dan seperti pepatah Arab yang kira-kira artinya “apa saja yang luput, ada saja yang pungut”. Maka urusan benar dan salahnya fatwa, itu tidak menjadi urusan para penganut. Mereka tak mau tahu.
Makanya para ulama sejak dahulu sudah melakukan tugasnya menjawab fenomena seperti ini dengan menjelaskan hukum dan adab-adab berfatwa, serta menginformasikan kepada awam bagaimana cara meminta suatu fatwa. Bahkan banyak ulama yang mengarang kitab khusus tentang persoalan ini agar mudah diakses tanpa perlu mencarinya di sela-sela kitab fikih atau ushul fikih yang melelahkan.
Di antara hukum dan adab-adab berfatwa yang disebutkan oleh Imam Nawawi dalam karyanya berjudul Adabul Mufti wal Mustafti, misalnya, adalah memenuhi syarat utama berfatwa, yaitu memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni, kredibel, dan diakui oleh ahli agama lainnya. Di samping itu juga ia harus memiliki sifat-sifat yang biasanya menjadi persyaratan pada perawi hadis, seperti adil dan terjaga nama baik. Makanya sifat tahu diri sangat diperlukan di zaman ini. Sebab, berfatwa tanpa ilmu yang memadai dapat menimbulkan dampak yang cukup merusak bagi masyarakat, dan itu berarti memesan tiket kelas ekonomi menuju neraka.
Sedangkan adab mencari fatwa bagi awam, di antaranya, adalah mencari tau dan mengetahui keahlian orang yang memberi fatwa. Tidak boleh mengambil pendapat sembarang orang. Bahkan tidak diizinkan mengikuti pendapat orang yang hanya terkenal karena dianggap memiliki pengetahuan agama atau sering nampak mengajar atau mengadakan kajian dimana-mana. Saat ini ada banyak orang terkenal di media sosial dan ada ribuan orang yang berbicara tentang hukum agama, sangat sulit mengetahui siapa yang pantas atau tidak untuk berfatwa.
Makanya cara paling mudah dan akurat untuk mengetahui hukum agama adalah dengan menanyakan langsung kepada ulama lokal yang ada di lingkungan tempat tinggal. Jika pun harus mencari jawaban di media sosial, lihatlah rekam jejak pendidikan pemberi fatwa. Apakah memiliki sanad dan diakui oleh guru-gurunya atau tidak. Kalau bisa, cari kesaksian orang terpercaya tentang dirinya.
Penulis: Syakir Anwar, Staf Pengajar Ma’had Aly Raudhatul Ma’arif, Aceh Utara.