Baru-baru ini saya pernah ikut grup Facebook para ateis dan melihat betapa kasus ‘pembantaian’ terhadap Yahudi Bani Qurayza pada masa Rasulullah SAW selalu menjadi salah satu isu paling sering digunakan untuk menyerang Islam. Ada yang bilang orang Islam tidak tahu sejarahnya sendiri saat mengatakan “Islam tidak disebarkan lewat pedang” padahal Rasulullah sendiri terlibat langsung dalam banyak perang. Ada juga yang bilang “Islam agama biadab” dan akan tetap jadi biadab dengan mengemukanya aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam. ISIS dapat dilihat sebagai contoh nyata. Tentu kebebasan pendapat bisa dimaklumi, tapi memvonis secara membabi buta apalagi itu berkaitan dengan konteks sejarah adalah dosa yang tidak bisa diampuni.
Banyak orientalis menjadikan kasus Bani Qurayza sebagai serangan telak terhadap Islam—di samping pernikahan Rasulullah dan Aisyah yang masih di bawah umur atau ketidakjelasan penerus beliau sebagai pemegang kendali perintah sehingga menyebabkan perpecahan aliran dalam Islam.
Namun bagi saya pribadi, bagian ini adalah salah satu episode paling menarik dalam kehidupan Rasulullah. Menarik yang saya maksud tentu punya beberapa alasan, dan yang paling penting adalah konteks zaman. Konon, setelah berkhianat kepada kaum Muslim dalam Perang Ahzab/Perang Khandaq, Rasulullah memerintahkan untuk menghukum bunuh sekitar 900 laki-laki dewasa dari suku Qurayza dan menjadikan perempuan serta anak-anak mereka sebagai budak, sekaligus merampas semua harta mereka sampai ludes. Namun demikian, ada sekitar 1000 orang dibebaskan dari pembantaian itu karena memilih untuk masuk Islam.
Selain dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 26-27 serta Sahih Bukhari dan Sunan Abu Dawud, sumber utama lain adalah buku karya At-Thabari dan Ibnu Hisyam yang berdasarkan pada buku karya sejarawan Islam pertama dan paling utama, yakni Ibnu Ishaq. Namun ada pula pihak yang meragukan peristiwa itu karena konon katanya Ibnu Ishaq mendapatkan sumber cerita itu dari keturunan Suku Qurayza sehingga ada kemungkinan bias sejarah sehingga cerita yang dia dengar memang terlalu dilebih-lebihkan.
Dalam standar moral di era kontemporer, tentu pembunuhan Bani Qurayza ini bisa menjadi kampanye genosida yang dapat dibawa ke Mahkamah Internasional atas dasar pelanggaran HAM atau tema sensitif lain seperti antisemitisme. Tapi untuk konteks zaman itu kekerasan semacam ini adalah hal lumrah belaka. Jadi jika bertolak pada alur sejarah, kekerasan seperti itu masih bisa dimaafkan dengan beberapa alasan,
Pertama, sejarah HAM atau Hak Asasi Manusia berawal dari dunia Barat (Eropa). John Locke, filsuf Inggris abad ke-17, yang pertama kali merumuskan adanya hak alamiah (natural right) yang melekat pada setiap manusia,yaitu hak atas hidup, hak kebebasan dan hak milik. Tentu dalam perkembangan selanjutnya, standar moral manusia di sepanjang peradaban terus berubah meskipun pada dasarnya ada ketidakjelasan dari standar moral yang dimaksud. Misalnya soal kolonialisme. Para orientalis sering kali menyerang Islam dari sisi kekerasan yang dilakukan oleh Muslim di era kehidupan Rasulullah dengan melupakan fakta bahwa di zaman yang jauh lebih modern pun sebenarnya mereka masih menerapkan kekerasan yang jauh lebih luar biasa. Pribumi yang mereka jajah dianggap sebagai manusia kelas dua, atau bahkan lebih rendah, sehingga dalam peta perpolitikan dunia muncullah istilah Dunia Ketiga yang masih dipakai hingga kini.
Kedua, ihwal anti-semitisme sebenarnya baru masyhur setelah era Holocaust. Di sepanjang sejarah, posisi kaum Yahudi memang kerap dijadikan sebagai kambing hitam dan korban dari segala tragedi. Terhitung banyak pemusnahan terhadap Yahudi yang tercatat di sepanjang sejarah atas dasar otoritas pemerintah yang berkuasa. Bisa dibilang hal itu sudah ada sejak masa Babilonia, Mesir Kuno, Romawi, Kristen di Abad Pertengahan, Nazi Jerman, bahkan Apartheid, bangsa Yahudi selalu dijadikan pusat dari segala masalah. Maka mencap pembantaian Bani Qurayza di masa Rasulullah dengan bertopang pada standar moral di era kontemporer adalah hal yang pada dasarnya sudah keliru. Jadi dapat dikatakan penyematan istilah anti-semitisme kepada Rasulullah di masa lalu adalah anakronisme.
Adapun fakta yang paling penting lagi, pembantaian itu bukan disebabkan karena mereka beragama Yahudi, tapi karena mereka berkhianat pada pasukan Muslim. Jadi alasan pembantaian itu bukan berlandaskan agama, melainkan politik. Memang benar Bani Qurayza yang memilih masuk Islam akan dibebaskan, tapi tentu ada pertimbangan lain yang harus kita telisik lebih dalam lagi. Bukti lain yang menguatkan posisi kaum Yahudi adalah pasca tragedi pembantaian itu, banyak suku Yahudi yang masih hidup damai di bawah pemerintahan Rasulullah di Madinah, dan mereka masuk golongan kafir dzimmi.
Sejauh pengamatan saya, tidak banyak literatur Yahudi yang mengenang peristiwa Bani Qurayza. Di bawah ini adalah cuplikan puisi yang mengenang peristiwa itu. Puisi ini saya terjemahkan bebas dan ditulis pada 1896 oleh Shaul Tchernichovsky, penyair Yahudi kelahiran Ukraina.
‘BANI QURAYZA TERAKHIR’
—itukah sebabnya kau meninggalkanku,
oh, demi diriku dan demi hari-hariku yang hilang
aku akan melihat kemenangan musuhku
dan kini kejayaan suku kita telah runtuh
—”Bangkitlah, saudaraku, bukalah matamu,
demi istri dan anak gadismu
dan demi hidupmu, semoga Tuhan memberkatimu!”
—kalian bertanya, “Di mana suku kami,
Di mana Ka’b bin al-Ashraf?”
Dan kami berkata: “Biarkan anak-anak kita yang menjawabnya,
Dan semoga namanya abadi untuk selamanya!”
Laksana badai taufan di Yaman
Namanya terawang di atasnya, karena aku melihat dia diberkahi suatu mukjizat
—”Di atas ladang kota Madinah
Ibnu al-Ashraf telah mati!”
Jika dilihat dari puisi tersebut, sebenarnya tidak ada kalimat penyerangan langsung yang ditujukan pada Islam, apalagi Rasulullah. Namun demikian, disebutkan juga nama Ka’b bin Al-Ashraf. Sekadar informasi, Ibnu Al-Ashraf adalah seorang penyair yang hidup di era Rasulullah dan di sepanjang hidupnya yang singkat tercatat sebagai musuh dari Rasulullah. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Ibnu Al-Ashraf kerap menghina Rasulullah lewat syair-syair yang dia karang.
Kisah Ibnu Al-Ashraf memang mendapat porsi yang singkat dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, juga diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Namun demikian sosoknya pada saat itu memang cukup berpengaruh dalam menggiring opini masyarakat. Ibarat figur dari kalangan dunia hiburan yang diekspos media, apa yang dilakukan dan dikatakan Ka’ab senantiasa jadi sorotan. Akhirnya dia menang tewas terbunuh, tapi alasannya karena dia dituduh bersekongkol dengan tokoh Yahudi lain untuk membunuh Rasulullah.