Ari Widyati Purwantiasning dan Ahmad Mubarak Djuha yang menulis Musik dalam Dimensi Ruang Arsitektur (Republika, 2016), mengutip kembali Goethe, bahwa architecture is a frozen music. Produser dan penulis lagu Quincy Jones melontarkan kalimat yang membalikkan pernyataan Goethe, “if architecture is a frozen music then music must be a liquid archicture”. Thelonious Monk, seorang pianis musik jazz juga ikut mengatakan bahwa, “writing about music is like dancing about architecture.”
Sementara, Stella Nindya dalam Keterkaitan Musik dengan Arsitektur (2012), mengatakan bahwa musik punya kemiripan dalam hal susunan. Menurutnya, musik adalah kesatuan yang terdiri dari unsur yang saling melengkapi, yakni, melodi, harmoni, tempo, dan ritme. Kehilangan salah satu unsur maka akan berdampak pada absurditas sebuah lagu. Begitu pula sebaliknya bagi arsitektur, yang terdiri dari bentuk, fungsi, program, ruang, dan pola.
Sebagai penikmat musik, hal ini telah membawa cara pandang yang sama sekali gres khususnya dalam melihat arsitektural. Walaupun menaruh “musik dan arsitektur” dalam cakram yang sama sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, bahkan bagi dunia akademik sendiri. Tentu saja ini bukan sekadar metafora, atau tindakan memaksa agar keduanya, musik dan arsitektur, bisa saling dipertukarkan satu sama lain sementara di saat yang sama telah menyampingkan esensi ruang lingkupnya.
Mari kita lihat Ari Widyati Purwantiasning dan Ahmad Mubarak Djuha dalam jurnal Transformasi Musik Dalam Bentuk Arsitektur (2012) yang memberi eksplikasi tentang emosi lagu, yang tampak dalam beberapa variabel. Yaitu dinamika, artikulasi, legato, dan lainnya, di samping kecepatannya diatur melalui tempo. Adapun komponen utama musik dalam bentuk fisik adalah bunyi atau suara. Ketakadaan bunyi atau suara menghilangkan bentuk utama suatu musik.
Bunyi atau suara inilah yang dapat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang. Philip G. Zimbardo dalam Essential Of Psychology And Life (1971), dikutip oleh Ari dan Mubarak mengatakan bahwa musik berpengaruh pada emosi, baik secara fisik ataupun psikis. Emosi sendiri di bagi ke dalam dua komponen, yaitu fisik dan psikis. Komponen fisik menjadi penentu intensitas yang akan timbul. Di sini, kualitas emosi akan ditentukan oleh komponen psikis.
Sementara itu, Eugene Raskin dalam Architecturally Speaking (1954), dikutip oleh Ari dan Mubarak membagi arsitektur ke dalam tiga macam emosi, yaitu, emosi yang diinginkan, emosi yang melekat dan emosi yang bangkit atau terjadi. Emosi yang hebat akan menghasilkan karya arsitektur yang hebat juga. Ketakadaan emosi hanya berakhir pada karya arsitektural yang hampa, tanpa karakter apapun alias meaningless.
Di sisi yang lain, antara musik dan arsitektur, secara estetika, dinikmati dengan cara yang berbeda, kendati dalam ruang dan waktu tertentu bisa dinikmati melalui cara yang sama karena musik juga erat kaitannya dengan visualitas. Itulah gunanya konser dan video klip. Tetapi, kita juga jangan lupa bahwa arsitektur acapkali menjadi kekuatan visual dalam industri permusikan (video klip). Kita bisa melihat bagaimana arsitektur secara visual telah memperkuat impresi sebuah lagu. Lantas, bagaimana cara kita mendengar arsitektur bernyanyi?
Irama dan harmonisasi, adalah dua hal yang penting baik bagi musik maupun arsitektur. Di sisi yang lain, musik biasa digunakan sebagai stimulus bagi seorang arsitek, dan jadi sumber inspirasi yang tanpa sadar berpengaruh besar pada hasil desain arsitektural dari segi ritme, harmoni, maupun keseimbangan sesuai dengan jenis musik yang dipilih. Musik bergenre metal umumnya punya konotasi kasar, dinamis, dan tidak taat aturan, berbeda musik klasik, yang rumit dan disiplin. Lebih jauh, desain yang akan divisualisasikan juga berdampak pada jenis material, pemilihan warna, hingga geometris.
Namun, untuk mendengarkan nyanyian dari arsitektur maka perlu melihat keduanya dari sisi struktur yang membangun atau sumber inspirasi perancangan keduanya. Jika musik tersusun atas melodi, harmoni, ritme, dan tempo, maka dalam susunan yang setara kendati dalam dua wujud yang sama sekali beda, arsitektur terdiri atas komposisi bentuk, fungsi, pola, dan proporsi, demikian Stella Nindya dalam Keterkaitan Musik dengan Arsitektur (2012). Lebih lengkap lagi, jika didedah berdasarkan ide penyusun, maka musik dan arsitektur, secara setara sebanding satu sama lain, sebagai: konsep lagu-program ruang, penulisan lagu-proses desain, yang berakhir pada lagu-bangunan.
Nindya juga membagi hubungan keduanya ke dalam elemen penunjang masing-masing, yakni intro-pintu masuk, bait-verse/voyer, refrein-ruang utama, dan bridge-ruang perantara. Federico Babina, seorang desain grafis berkebangsan Italia bahkan merilis seri ilustrasi yang terkenal, yakni Archimusic. Dalam Archimusic, terdapat 27 ilustrasi lagu yang diwujudkan ke dalam karya arsitektural.
Di antara 27 lagu tersebut terdapat sederet nama musikus, penyanyi, dan grup band yang tidak asing, mulai dari W.A. Mozart sampai Pink Floyd. Bagi Babina, musik dan arsitektur terkait dalam koneksi kosmis. Dalam ilustrasinya, musik diejawantahkan ke dalam dimensi ruang arsitektur yang berkaitan dengan garis budaya. Di sini, volume dan transformasi bentuk arsitektur bisa dibentuk secara berbeda melalui warna, irama, harmoni, dan nuansa.
Sekali lagi, sudahkah Anda mendengar arsitektur bernyanyi? Jika merujuk Avianti Armand dalam Arsitektur yang Lain (h. 242, 2017), bahwa bentuk menjadi vokal, sementara material tetap diam, apakah musik yang dinyanyikan oleh arsitektur kiwari tidak melihat unsur material penyusunnya sebagai hal utama lagi? Seperti Avianti, alih-alih menciptakan mikrokosmos eksistensial, sebuah representasi dunia, arsitektur malah memproyeksikan imaji-imaji retinal untuk kepentingan persuasi yang seketika. Begitu jugakah musik? Apakah ia kini tercerabut dari esensinya. Musik, yang bagi sebagian orang adalah adimarga dalam menemukan sisi lain dari Ketuhanan kini bersulih ruap di bawah domestikasi kapitalisme.