Beberapa minggu yang lalu saat berjalan di koridor Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin Banda Aceh, tanpa sengaja saya melangkah beriringan dengan sebuah ranjang yang mengangkut seorang laki-laki bertubuh kurus yang membuat kepala saya tiba-tiba berdenyut hebat.
Tubuh laki-laki itu seolah dilesakkan oleh suatu tekanan yang luar biasa kuat, sehingga badannya terlihat begitu pipih, rata bersama alas ranjang. Tulang-tulang pipinya tampak menonjol, seperti mendesak keluar, ingin merobek kulit wajahnya yang legam.
Matanya melotot membelalak langit-langit, bagaikan sedang sekarat di hadapan malaikat maut. Tetapi ia masih siuman yang dengan gemetar memberi isyarat kepada perempuan yang agaknya merupakan istrinya untuk mendekat. Ia membisikkan sesuatu, lantas dengan khusyuk sang istri meminumkan dirinya beberapa teguk air putih dari sebotol mineral.
Istrinya berwajah lelah tapi tabah, senantiasa melihat apapun dengan tatapan sendu. Ia berumur kurang lebih 29 tahun. Tapi agaknya nasib dengan bengisnya membuat perempuan ini terlihat lebih tua dari yang seharusnya. Dia memanggul sebuah ransel coklat kusam penuh pakaian dan menenteng sebuah kresek hitam. Ia mengiringi ranjang yang mengangkut suaminya itu dengan kaki telanjang.
Di belakang mereka, dua kanak-kanak mengekor. Yang paling tua adalah si anak laki-laki, nampaknya berusia tak lebih dari 13 tahun yang terlihat kepayahan memikul tikar dan dua bantal. Di susul adik perempuannya yang pipinya cemong karena menyedot cendol dalam sebungkus plastik. Mereka mirip sekeluarga pengungsi yang baru saja berhasil lolos dari huru-hara perang.
Sembari menuju ke Poliklinik, saya menyapa dan sempat mengiringi mereka dan mengobrol sebentar. Mereka datang dari Aceh Timur. Si istri mengaku tak punya kenalan atau saudara di Banda Aceh. Satu kambing, enam ayam dan empat bebek di kandang telah tandas ia jual sebagai bekal untuk bertahan selama di Banda. Dan itu adalah harta penghabisan mereka setelah sekian minggu berobat di rumah sakit kabupaten. Seumur hidup inilah kali pertama ia dan anak-anaknya melihat dan menginjakkan kakinya di Kota Banda Aceh.
Ada gurat ketakutan, kepasrahan atas takdir sekaligus ketidakberdayaan yang menguar dari tatapan dan raut wajahnya.
Wajar saja, karena bagi kita orang Aceh, rumah sakit adalah rimba yang bisa saja membikin telantar orang dengan begitu kejamnya, dapat membuatmu merintih karena dikepung oleh perasaan sebatang kara, sekaligus mengutuk diri sendiri dalam keputusasaan karena menjadi masyarakat biasa yang tak punya orang dalam.
Tak ada yang dapat menyangkal ketidakberdayaan kita di hadapan rumah sakit di Aceh yang sistem pelayanannya seperti mimpi buruk yang suram dan tak berkesudahan.
Bayangkan jika hari-hari ini kita pergi berobat ke rumah sakit manapun milik pemerintah di Aceh. Kau akan menemukan dirimu menjadi manusia yang mendapatkan perlakuan yang tak lebih berharga dari ternak.
Apabila harus berobat jalan, tentu saja setelah melewati pos-pos administrasi petugas rumah sakit yang memperlakukanmu seperti maling ayam, kita akan mengalami ledakan antrian yang bersesak-sesakan. Kita harus mengantri sejak subuh hingga magrib hanya untuk lima menit konsultasi yang tergesa-gesa, dan menerima segenggam obat yang belum tentu mujarab.
Itu terjadi karena rupanya satu orang dokter tertentu harus menangani puluhan bahkan ratusan orang. Untuk memangkas antrian seringkali satu orang dokter harus tangkas menangani dua pasien sekaligus seperti dokter-dokter dalam situasi perang.
Apabila dirawat di rumah sakit milik pemerintah, kita juga akan menjadi manusia yang seolah-olah telah berjodoh dengan berlapis-lapis penderitaan.
Deritamu yang pertama jika bukan orang kaya, adalah kelas BPJS, yang membuatmu dilesakkan secara berdesak-desakan dalam bangsal penuh pasien lainnya dan tak berpendingin udara pula. Mesin pendinginnya memang ada, tapi yang berhembus darinya adalah angin, pelan saja. Apabila siang tiba, panasnya masya Allah, seperti direbus dalam kuali jahannam. Jika malam datang, satu batalion nyamuk akan menghajarmu tanpa ampun.
Selanjutnya kita harus menunggu kunjungan dokter penanggung jawab seperti menanti kedatangan Imam Mahdi. Memang ada banyak dokter, terutama yang muda-muda mengecek kondisimu, tapi kau tak pernah tau dokter mana yang benar-benar bertanggung jawab atas kondisi kesehatanmu.
Tetapi yang paling gila lagi adalah apa yang terjadi di hampir semua rumah sakit tingkat dua di kabupaten/kota. Saya mengalaminya langsung di Rumah Sakit Tgk. Chik di Tiro Sigli, dimana dokter yang bertanggung jawab atas kondisimu bisa-bisa secara ajaib sedang berada di luar kota dengan alasan mengikuti pelatihan atau dia memang berdomisili di kota yang berbeda, padahal kau sedang bertaruh nyawa dengan penyakitmu. Dia hanya memantaumu dari jauh lewat dokter muda yang bertugas mengawasi puluhan bangsal sekaligus.
Jika masuk rawat inap di malam hari, terutama menjelang dinihari, kita tak perlu berharap ranjang tidur akan diberi alas seprai. Dengan enteng mereka akan bilang bahwa dinihari tidak ada office boy, jadi tak ada yang memasang seprai. Pihak rumah sakit seolah ingin mengatakan; bahwa sebagai peserta BPJS, bantal dan selimut tidak ikut ditanggung negara. Oleh karena itu setiap pasien harus membawanya sendiri sejak berangkat dari rumah.
Itulah mengapa saat pasien dari daerah dirujuk ke RSUD Zainal Abidin atau rumah sakit tingkat dua, ia akan turut disertai oleh sejumlah keluarganya yang mengangkut apa saja yang bisa dibawa dari rumah; bantal, selimut, tikar, pakaian hingga tas-tas yang bisa jadi berisi peralatan untuk bertahan hidup. Mereka akan bertahan di rumah sakit dengan cara apapun, dan tidur dimana pun, yang penting bisa membersamai anggota keluarganya yang sedang dirawat.
Selama dirawat di rumah sakit, jangan pernah berharap dokter atau petugas medis di sana akan menjelaskan secara runut diagnosa penyakit dan tindakan-tindakan yang telah diambil dan apa yang akan dilakukan sekiranya keadaan kian memburuk. Mereka akan menjelaskan dengan malas hanya jika kita tekun bertanya, itupun kalau kau tampak sedikit terdidik. Tapi apabila terlihat udik, kau hanya akan mendapat penjelasan paling ringkas, sesingkat kata kunci dalam tulisan jurnal atau tugas penelitian mahasiswa kedokteran akhir, penjelasan yang membikinmu pusing sama sekali karena mendengar istilah latin yang teramat asing.
Tetapi mengapa satu dokter di poliklinik rumah sakit manapun di Aceh, khususnya RSUD Zainal Abidin Banda Aceh, seringkali mesti menangani banyak pasien. Ini menjadi pertanyaan abadi yang tak akan pernah ditemukan jawabannya. Sama misteriusnya dengan pertanyaan kapan kiamat akan terjadi.
Padahal dalam tahun 2024 saja Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah berulang kali melakukan inspeksi mendadak ke RSUD Zainal Abidin. Dalam tiap sidak yang dilakukan secara berulangkali itu, para anggota komisi selalu saja menemukan banyak sekali persoalan yang tak pernah kunjung ditangani. Salah satunya adalah adanya temuan bahwa ternyata hanya 10 persen dokter sub spesialis yang hadir dari 5 dokter yang seharusnya piket di tiap-tiap poliklinik.
Saya bahkan dibuat bergidik saat membaca pengakuan para anggota Komisi V seperti yang dimuat harian Serambi Indonesia dengan judul Sidak Gedung Onkologi RSUDZA, Komisi V DPRA Hanya Ditemani Kepala Keamanan (18/07/24).
Para anggota Komisi V mengaku kedatangan mereka tidak pernah digubris sama sekali oleh semua pejabat manajemen rumah sakit. Panggilan telepon para anggota dewan terhormat ini pun diabaikan begitu saja. Pihak manajemen rumah sakit ini mangkir dari sidak sebagaimana mereka selalu raib dari komitmen penyediaan pelayanan yang berkualitas dan berkemanusiaan.
Bayangkan bagaimana ajaibnya keberanian orang-orang di dalam manajemen rumah sakit ini, mereka sama sekali tidak takut kepada para anggota dewan yang punya legitimasi untuk mengawasi pekerjaan mereka.
Jika anggota dewan saja tak berkutik di hadapan ketidakbecusan pengelola rumah sakit, lantas apa yang bisa dilakukan para pasien dan keluarganya saat harus menghadapi monster pelayanan buruk rumah sakit? Tak ada. Kita hanya bisa menerima kenyataan teruk itu sebagai suatu keniscayaan nasib yang tak terelakkan. Dan kesadaran kita telah menganggapnya sebagai wujud kewajaran belaka.
Disinilah semua malapetaka pelayanan rumah sakit yang buruk itu bermula. Bahwa kita telah menerima begitu saja tiap-tiap kebobrokan sistem pelayanan dan kesehatan rumah sakit dalam bingkai kewajaran. Sehingga seluruh ekosistem rumah sakit mulai dari direktur, dokter, perawat, pegawai, hingga pasien sekalipun memandang setiap kebusukan pelayanan dengan penuh pemakluman. Jika ada yang menggugat atau mengkritik, ia justru akan dianggap sebagai keanehan baru.
Kesadaran ini telah menjadi kemapanan yang sangat kompleks dan butuh kemauan keras untuk mengurainya. Di hadapan pemerintah Aceh dan segenap elit-elitnya, masalah ini seperti tak pernah benar-benar dianggap ada. Memang pemerintah Aceh sempat merespon persoalan purba ini dengan mewacanakan rumah sakit regional.
Wacana ini telah bergulir sejak Aceh dipimpin oleh Gubernur dari partai lokal, partai nasional hingga Pj Gubernur kiriman Jakarta, tetapi entah bagaimana mereka tak pernah serius mewujudkan rencana ini. Barangkali karena pembesar ini atau keluarganya tidak pernah dirawat di rumah sakit kabupaten atau RSUD Zainal Abidin yang konon katanya bersyariah itu. Kalau pun dirawat di sana tentu saja mereka akan diinapkan di ruang VVIP, atau seperti yang jamak terjadi mereka justru akan berobat ke Penang atau Singapura, untuk menunjukkan bahwa rumah sakit di Aceh sebenarnya adalah rumah jagal, yang tak layak dijadikan tempat berobat.
Yang harus dipahami oleh siapapun adalah sistem pelayanan kesehatan kita yang penuh dengan kejahiliyahan itu bukan sekadar persoalan infrastruktur; dimana sambil kumur-kumur para pemangku kebijakan dapat berseru dengan tiba-tiba bahwa solusi dari itu semua adalah bikin rumah sakit regional.
Semua rumah sakit regional yang sedang dibangun justru menimbulkan persoalan baru, mulai dari pengerjaan bangunannya yang sarat korupsi, fasilitas yang buruk hingga kualitas sumber daya manusia yang bermasalah. Akhirnya seperti yang lazim terjadi adalah pemerintah Aceh menyelesaikan masalah dengan masalah.
Siapapun yang memimpin Aceh ke depan jika berkeinginan membongkar kelindan masalah di dalam sistem pelayanan kesehatan kita, yang pertama-tama mesti dilakukannya adalah menjadi manusia Aceh seutuhnya. Dia harus merasakan menjadi rakyat biasa yang mengadu penyakit di rumah sakit. Cara paling sederhana, meski terdengar tak biasa, yaitu dia harus melakukan uzlah di rumah sakit dan berbicara dengan rakyatnya dari wajah ke wajah tanpa sorot kamera, mengalami dan merasai secara langsung bagaimana monster pelayanan di rumah sakit bekerja.
Dalam penyendiriannya di rumah sakit ia harus menemukan emosionalitas, menjadi manusia Aceh seutuhnya. Itulah pijakan pertama bagi siapapun yang ingin membangun sistem kesehatan yang berkualitas. Dari situ barulah kita dapat memulai langkah baru menyusun peta jalan revolusi sistem kesehatan. Pemimpin manapun yang menyepelekan persoalan ini berarti ia meremehkan nyawa dan harkat martabat manusia Aceh.