Abu Hamid Al Ghazali menceritakan bahwa Imam Malik bin Anas pernah diminta oleh Khalifah Harun Ar Rasyid agar mengajari anak-anaknya kitab al Muwattha secara privat. Mendengar permintaan sultan, Imam Malik menjawab:
“Wahai amirul mukminin, sesungguhnya ilmu (agama) ini berasal dari kalian, jika kalian mengagungkannya maka dia akan agung, dan jika kalian merendahkannya dia akan hina, Ilmu itu didatangi bukan mendatangi.”
Demi mendengar jawaban Imam Malik, Harun Ar-Rasyid menjawab: “Engkau benar Imam, Ayo kalian (anak-anakku) keluarlah ke mesjid bersama masyarakat biasa untuk belajar langsung kepada Imam Malik.”
Imam Malik berpendapat bahwa memenuhi undangan mengajar privat memiliki sisi negatif yang merendahkan derajat ilmu, apalagi jika harus mengajar ke kediaman orang yang mengundang. Imam Malik selalu tegas jika dihadapkan pada kenyataan tersebut, sehingga ia selalu memilih untuk mengajari masyarakat di masjid alih-alih memenuhi undangan mengajar privat.
Konteks sikap Imam Malik tersebut muncul di zaman dimana masyarakat memiliki antusiasme yang kuat untuk belajar. Dalam kondisi tersebut derajat ilmu perlu dijaga dengan tidak “mengobralnya” dalam ruang-ruang belajar privat.
Tentu saja sikap Imam Malik ini tidak bisa dipukul sama rata dan tak selalu dapat dianggap relevan untuk dilakukan di setiap zaman dan kondisi. Dan kenyataan ini cukup mengkhawatirkan saat kita melihat beberapa ulama yang terus mempertahankan sikap bahwa “ilmu didatangi bukan mendatangi”. Sehingga kita menemukan ulama-ulama yang memiliki kualitas keilmuan mumpuni cukup enggan memperluas ekspansi dakwahnya ke institusi pendidikan-pendidikan umum dan ruang publik.
Dakwah dengan metode “menjemput bola” perlu dipertimbangkan secara serius oleh para da’i dan ulama saat ini. Kita tidak bisa mengharapkan orang-orang yang tenggelam dalam kemungkaran untuk hadir ke majelis ilmu. Apalagi majelis ilmu tertentu yang terkesan cukup eksklusif dan elitis.
Ada banyak orang yang saat ini sedang berjibaku untuk bertahan hidup dengan penghasilan yang hanya mencukupi hari ke hari. Tidak bekerja sehari berarti kelaparan. Atas kondisi sosial seperti ini, adalah hal yang cukup riskan jika para da’i hanya duduk nyaman menunggu dan cuma bersedia mengajar ngaji kepada orang-orang yang datang ke balai pengajiannya. Lantas saat ada orang Islam yang murtad karena faktor ekonomi, beberapa da’i malah mengutuk dan marah atas kondisi akidah masyarakat yang menurut mereka telah rusak. Justru jangan-jangan, kitalah para da’i yang telah merusaknya dengan sikap melangit dan eksklusif.
Benar bahwa ilmu agama itu didatangi, bukan mendatangi, tapi konteksnya mungkin di zaman ketika orang sangat menghargai ilmu dan para ulama. Adapun saat ini, di tengah kepungan rendahnya minat literasi dan malasnya anak-anak muda untuk membaca maka mengajar dan mendidik masyarakat dan generasi muda sudah menjadi seperti jihad.
Oleh karena itu, mengajar dan mendidik harus dilakukan dengan metode dan pendekatan yang berbeda, tidak lagi model klasik. Setiap pendakwah saat ini harus keluar kandang. Sebab yang namanya jihad haruslah di medan tempur, bukan hanya di sudut-sudut mesjid, sekolah atau pesantren. Kalau kejahatan dapat dikemas dengan bungkusan yang menarik maka kebaikan juga harus dibungkus dengan kemasan yang lebih menarik dan penuh estetik. Kalau kemiskinan melahirkan pendangkalan akidah maka para da’i juga harus turun dan mengedepankan dakwah bil hal dengan membantu siapapun yang kelaparan dengan konsep pemberdayaan ekonomi dan pembangunan karakter serta kemanusiaannya.
Dakwah-dakwah dengan metode ini sudah lama ditempuh oleh para ulama-ulama Islam, misalnya seperti yang dilakukan oleh ulama hadits Suriah, Syaikh Badruddin Al-Hasani yang mendatangi atau mengutus murid-muridnya untuk pergi ke rumah-rumah prostitusi membagikan hadiah kepada para PSK, mengingatkan mereka tentang akhirat, dan bahkan meminta doa dari mereka.
Salah seorang ulama lain semisal Hasan Al-Banna, juga diceritakan mengunjugi ribuan kampung dan tempat-tempat hiburan untuk berdakwah selama hidupnya. Para ulama ini memahami dengan baik bahwa seorang alim juga harus bermental aktivis yang siap terjun atau turun langsung untuk berdakwah ke daerah-daerah terpencil ataupun ke pusat-pusat kemiskinan. Dengan demikian Islam dapat menampilkan wajahnya yang universal dan membumi, bahwa ia menjadi milik semua kalangan baik miskin maupun kaya.
Penulis: Taufik Yusuf Njong, alumni Internasional University of Africa, Sudan.