Presiden Joko Widodo resmi meneken Perpu Cipta Kerja dan diumumkan Jumat, 30 Desember 2022 lalu. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku dipanggil oleh Jokowi untuk menyampaikan penetapan Perpu tersebut.
Airlangga merincikan berbagai pertimbangan pemerintah menerbitkan Perpu tersebut. Pertama, menurut dia, ada kebutuhan mendesak. Airlangga mengutarakan pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang berkaitan dengan ekonomi Indonesia yang tengah menghadapi ancaman resesi, peningkatan inflasi, maupun stagflasi.
Menurut dia, Jokowi juga sudah berbicara dengan Ketua DPR Puan Maharani soal keputusan tersebut. “Pada prinsipnya ketua DPR sudah terinformasi mengenai Perpu tentang Cipta Kerja dan ini berpedoman pada peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU7/2009,” ujar dia dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring melalui akun YouTube Sekretariat Presiden, Jumat.
Menurut Airlangga, sudah 30 negara berkembang kini menjadi pasien IMF. “Bahkan beberapa negara berkembang yang sudah masuk kepada IMF itu lebih dari 30 dan sudah antre juga 30. Jadi kondisi krisis ini untuk emerging development country sangat riil,” ucap Airlangga.
Dia pun menyinggung soal kondisi geopolitik, perang Ukraina-Rusia, dan konflik lainnya yang belum selesai. Menurut Ailangga, pemerintah Indonesia menghadapi dampak karena perang itu berimbas ke krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim.
“Putusan MK terkait dengan Undang-Undang Cipta Kerja ini sangat mempengaruhi perilaku dunia usaha baik di dalam maupun di luar negeri,” tutur dia. “Mereka hampir seluruhnya masih menunggu keberlanjutan dari Undang-undang Cipta Kerja.”
Namun demikian Perpu Cipta Kerja ini mendapat respon dan penolakan dari sejumlah pihak. Salah satunya adalah Akademisi dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mempertanyakan alasan kegentingan yang menjadi dasar terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja.
Sebab, menurut dia, Perpu hanya bisa dikeluarkan oleh presiden jika memenuhi syarat kondisi kegentingan memaksa.
Meskipun menjadi hak prerogatif presiden, Perpu Cipta Kerja tidak boleh lantas bersifat subjektif. Pada gilirannya, Feri mempersoalkan bila Perpu akan diobjektifkan lewat pengesahan menjadi UU di sidang paripurna DPR.
“Pertanyaan besarnya, apa hal ihwal kegentingan memaksa itu sudah diperdebatkan lama? Apa yang disebut genting dan memaksa itu?” kata Feri dalam Forum Diskusi Salemba 87 yang digelar virtual pada Sabtu, 7 Januari 2022.
Lebih jauh, Feri menyebutkan, MK sudah menyebutkan tiga elemen yang harus dipenuhi sebelum Presiden mengeluarkan Perpu. Tiga elemen itu adalah:
Keadaan yang memaksa tiba-tiba. Artinya tidak ada cara lain, sehingga perlu segera diatur. Karena jika tidak akan timbul masalah ketatanegaraan yang cukup signifikan.
- Tidak ada aturan hukum atau kekosongan aturan hukum lainnya. Kalaupun ada aturan hukum, dianggap tetap tidak dapat menyelesaikan keadaan yang timbul.
- Proses pembentukan Perpu itu perlu disegerakan. Artinyak dalam keadaan memaksa, diperbolehkan menggunakan proses legislasi yang tak berpotensi lama.
“Jadi tiga keadaan itu menjadi landasan lahirnya Perpu, yang membolehkan presiden kemudian mengeluarkan Perpu,” ucap Feri.
Ia lalu mempertanyakan apakah pembuatan Perpu Cipta Kerja tersebut sudah memenuhi tiga syarat tersebut. “Secara sederhana terlihat sudah pasti tidak memenuhi,” kata Feri.
Salah satunya terlihat dari bagaimana Perpu Cipta Kerja yang memuat lebih dari 100 pasal. Dalam kondisi darurat, Feri sangsi, penyusun Perpu bisa menyusun hingga ratusan pasal. “Tentu mestinya masalahnya sudah akan terlewati.”
Feri juga menyitir soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan DPR untuk memperbaiki Undang-undang Cipta Kerja dalam waktu dua tahun setelah diundangkan. Di dalam perintah MK tersebut, tidak disinggung sama sekali potensi darurat yang mungkin terjadi, sehingga perlu diterbitkan Perpu Cipta Kerja.
“Saya pikir jadi janggal daruratnya seperti apa. Secara sekilas sebenarnya sudah mesti bisa terjawab, bahwa ini tidak memihak ihwal kegentingan memaksa itu,” ucap Feri.
Lebih jauh, Feri melihat adanya kebingungan pemerintah menindaklanjuti putusan MK. Sebab, begitu dilakukan perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja, maka akan ada potensi masyarakat menguji material atau muatannya. Pasalnya, objek sudah dianggap batal dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan harus dilakukan perbaikan dua tahun.
Kekhawatiran itu, menurut Feri, yang kemudian membuat langkah-langkah pemerintah dalam merespons putusan Mahkamah Konstitusi semakin salah.
Padahal ada beberapa hal yang perlu diingat dalam upaya perbaikan. MK pun sudah mensyaratkan harus dilakukan atau dipenuhi tiga hak di dalam tahapannya.
Pertama, hak publik untuk dapat menyampaikan pendapatnya. Kedua, hak publik diterima pendapatnya dalam pembahasan UU Cipta Kerja. “Ketiga, jika pendapat publik itu tidak diterima, pemerintah harus memberikan jawaban kenapa pendapat publik itu tidak diterima,” tutur Feri