Setelah Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menyelesaikan rapat pleno rekapitulasi suara pada 8 Desember, saya membayangkan pasangan Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi segera muncul dan berbicara di hadapan publik.
Bustami akan tampil dan berpidato dengan memakai teks yang ditulis dengan penuh perenungan. Ia akan berbicara tentang semangat yang melandasi keputusannya maju di pilkada, proses yang ia bertarung di dalamnya, atau memberi apresiasi kepada orang-orang yang ikut membantu perjuangan elektoralnya.
Tetapi yang lebih penting, Bustami akan berpidato tentang kekalahannya, bagaimana ia memaknainya dan menempatkan diri dalam situasi yang siapapun tak ingin berada di dalamnya itu. Ia akan menyeru kepada pengikutnya; menyampaikan kepada mereka pesan-pesan reflektif tentang perjuangan dalam demokrasi, tentang mengawal pemerintahan baru dan masa depan Aceh yang optimistik.
Ia juga tidak melupakan pasangan Muzakkir Manaf-Fadhlullah. Bustami akan menyebut mereka sebagai sahabat, sembari mengucapkan selamat atas kemenangan mereka. Ia akan mengingatkan mereka tentang tantangan yang akan dialami Aceh dan menegaskan akan mendukung pasangan ini dengan ikut mengawal setiap kebijakan saat mereka memimpin Aceh.
Itulah pidato kekalahan yang membuat Bustami dapat memenangkan dan membesarkan hati para pendukungnya. Menunjukkan kewibaan politik sekaligus meneguhkan posisinya sebagai orang yang beranjak dari titik yang beradab dan terdidik. Dengan demikian, ia akan meninggalkan warisan sekaligus membentuk tradisi dalam episode pilkada Aceh; bahwa siapapun yang maju, apakah menang atau kalah, setelah tahapan pilkada usai ia harus muncul ke permukaan dan mempertanggungjawabkan kandidasinya kepada publik.
Namun Bustami menandai kekalahannya di pilkada Aceh dengan begitu sembrono. Alih-alih berbicara ke hadapan publik, ia malah memilih mengakhiri nafas politiknya dengan selembar surat yang agaknya disusun terburu-buru, ditulis secara amatiran dengan logika etik yang berantakan.
Surat itu dimulai dengan poin yang menyatakan bahwa masyarakat luas merasakan sekaligus menemukan indikasi kuat bahwa pilkada Aceh telah tercederai dengan adanya intervensi oleh pihak-pihak tertentu.
Namun meski Bustami meyakini bahwa klaimnya itu dapat menjadi objek sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, ia justru memilih untuk tidak mengajukan gugatan. Alasannya, karena dirinya tidak ingin polarisasi politik dan ketegangan psikologis menghantui keseharian masyarakat Aceh.
Apabila itu yang menjadi alasan Bustami untuk tidak menggugat, maka ia seharusnya juga mengucapkan selamat kepada Muzakkir-Fadhlullah. Sebab penerimaan atas kekalahan sekaligus kebesaran hatinya untuk mengakui kemenangan Muzakkir-Fadhlullah justru menjadi monumen paling kokoh untuk menjaga masyarakat Aceh dari polarisasi politik dan ketegangan sosiologis. Itupun jika dampak itu benar-benar ada.
Justru dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusilah, Bustami dapat menghindarkan dirinya dan masyarakat dari praduga dan prasangka. Ia bisa menyelesaikan pertarungan pilkada dengan sejernih-jernihnya lewat putusan Mahkamah Konstitusi, dengan tidak menyisakan kebencian dan dendam.
Agaknya Bustami memang tidak berdiskusi dan melibatkan unsur ulama pendukungnya dalam menyusun sikap politik itu. Andai ulama dengan segala kearifannya diajak berdiskusi pasti surat rilis itu akan berisi ajakan persandingan bukan persaingan, pesan persatuan bukan perselisihan. Sebab ulama tidak akan membenci, sukar memelihara dendam dan menyenangi kemaslahatan.
Yang seharusnya dilakukan Bustami hari-hari ini adalah menghadapi dengan tegar kekalahannya, agar ia menyadari dari mana ia bisa bangkit, bagaimana ia bisa keluar dari situ dan tahu siapa dirinya saat ini. Bustami telah selamat dari badai pilkada, yang membuatnya sebagai orang terdidik seharusnya mengingat kata Haruki Murakami, bahwa saat kau selamat dari badai, kau bukan orang yang sama lagi. Memang itulah tujuan badai. Persoalannya apakah Bustami mendapati dirinya saat ini menjadi sosok yang lebih kuat dan bermakrifat atau ia justru akan menemukan dirinya sebagai orang berjiwa kerdil dan udik bagai kaum tak terdidik.