Sebelum terjun ke dunia politik, awalnya Sudirman atau populer dengan nama panggung Haji Uma, dikenal sebagai tokoh pelawak sukses dengan gaya lawakan khas yang mampu mengocok perut orang Aceh, bahkan orang yang lagi sakit gigi pun bisa terpingkal.
Mencermati lawakan-lawakan Haji Uma di sejumlah episode Eumpang Breueh kala itu, saya sempat berpikir bahwa dia akan menjelma sebagai pelawak besar Aceh yang bukan tidak mungkin akan segera tampil sebagai artis nasional. Tapi yang terjadi justru di luar dugaan, Haji Uma tiba-tiba saja masuk dalam pentas politik praktis dengan mencalonkan diri sebagai Dewan Perwakilan Daerah (DPD) – dan hebatnya dia terpilih. Dalam pencalonan periode kedua dia bahkan mendapat perolehan suara fantastis – nyaris satu juta suara.
Hal serupa juga dilakukan Rafly Kande, seorang penyanyi dengan suara khas yang mampu menghadirkan kesyahduan bernuansa etnik. Sama halnya seperti Haji Uma, saya sempat berimajinasi bahwa suatu hari Rafly akan tampil sebagai penyanyi besar yang akan menyenandungkan syair-syair endatu ke seluruh pelosok benua. Namun berkat popularitas di panggung seni, Rafly justru putar haluan dan sukses menjadi anggota DPD RI dan saat ini DPR RI.
Langkah yang ditempuh Haji Uma dan Rafly ini tentunya bukan fenomena baru. Di level nasional, hal serupa juga pernah dilakukan oleh sejumlah komedian legendaris semisal Komar, Miing dan Eko Patrio. Popularitas di dunia hiburan telah sukses mengantarkan mereka sebagai kader politik di Indonesia. Bukan saja komedian, artis lainnya semisal penyanyi terkenal juga ramai terlibat politik praktis mendahului Haji Uma dan Rafly. Lalu apakah hal demikian salah? Tentu tidak. Sejarah modern telah membuktikan bahwa tidak ada gelanggang tunggal di dunia ini dan hampir semuanya menyambi. Karena itu tidak perlu pura-pura heran ketika ada komedian yang menyambi sebagai anggota DPR atau ketua partai bekerja sambilan sebagai kontraktor. Demokrasi modern memang memberi ruang untuk itu.
Kisah Haji Uma dan Rafly plus sejumlah artis yang terjun ke pentas politik hanya sekadar contoh belaka tentang bagaimana arah hidup seseorang tiba-tiba bisa berbelok layaknya plot twist dalam novel dan film yang terkadang membuat kita bingung, bertanya-tanya dan kesal bercampur penasaran. Meskipun penuh kejutan, namun alur kisah yang demikian terkadang bisa memberi harapan-harapan baru dalam kelanjutan cerita di masa depan. Hanya saja, di pentas politik harapan-harapan tersebut kerap lebur dan lenyap begitu saja dalam pusaran waktu.
Plot Twist demikian tentunya tidak hanya terjadi pada artis semisal Haji Uma dan Rafly, tapi juga terjadi pada tokoh dengan berbagai profesi. Dalam hal ini seseorang yang tiba-tiba terkenal juga memiliki peluang yang sama untuk seketika mengubah arah hidupnya.
Namun demikian beberapa orang akan tetap kukuh pada jalan yang telah dirintisnya sejak awal dan tidak secara serta-merta terbawa arus yang seketika itu. Sebut saja Ustaz Abdul Somad (UAS) yang dulu sempat disebut-sebut layak menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, namun dengan tegas dia menolak “tawaran” tersebut sebab ia ingin tetap berada pada jalan yang telah dibangunnya dahulu. Dalam hal ini UAS yang dikenal sebagai penceramah berhasil bertahan untuk tidak “membelokkan” dirinya ke pentas politik.
Dalam konteks Indonesia saat ini, sikap UAS bisa disebut sebagai “satu dalam berjuta” alias cukup langka. Pada kenyataannya ramai tokoh-tokoh lain yang memilih berbelok mengikut arus massa lewat kesempatan yang tentunya tidak akan datang dua kali. Keberbelokan ini bisa saja disebabkan oleh kemauan sendiri dan bisa pula oleh desakan massa. Intinya, kesempatan demikian tidak terlepas dari popularitas yang tiba-tiba terbentuk – atau mungkin sengaja dibentuk.
Kegagapan Kita
Kita akan meninggalkan sejenak Haji Uma, Rafly dan UAS – tiga sosok dengan dua tipikal berbeda. Kita perlu mencoba mengoreksi diri sendiri yang terkadang turut gagap dalam menyikapi kemunculan tokoh-tokoh baru di hadapan kita. Setiap ada tokoh baru muncul, pikiran kita seolah-olah dipaksa untuk menggiring mereka ke dunia politik – yang kerap kita tafsirkan sebagai panggung paling strategis di muka bumi, meskipun faktanya kita tertipu berkali-kali.
Kegagapan demikian dapat kita saksikan hampir di semua daerah. Lihat saja ketika ada sosok relawan kemanusiaan yang tiba-tiba terkenal karena membantu fakir miskin yang kemudian viral, tiba-tiba saja pikiran sebagian kita tergerak untuk mengucapkan, “Dia cocok menjadi keuchik.”
Di tempat lain ada sosok yang giat memprotes kebijakan pemerintah melalui aksi demonstrasi atau media sosial, lalu sebagian kita bergumam, “Kalau dia jadi bupati pasti pemerintahan akan bersih.”
Begitu juga saat ada sosok pengusaha kaya yang secara ikhlas membantu pembangunan rumah-rumah penduduk dan membangun jalan-jalan kampung dengan uang pribadi, kita pun termenung sembari berucap, “Kita butuh gubernur seperti ini, pembangunan pasti jalan.”
Demikian pula ketika tiba-tiba di republik ini muncul seorang tokoh yang dikenal cerdas beretorika, sebagian kita akan bersorak-sorai, “Inilah calon presiden yang akan membawa kita ke bulan.”
Kegagapan-kegagapan demikian kerap kali hadir di hadapan kita, yang dalam kondisi tertentu mampu membentuk arus massa untuk kemudian mendorong tokoh-tokoh dimaksud agar terjun ke pentas politik menggantikan “produk-produk” lama yang kita anggap gagal, meskipun kehadiran mereka dahulu juga berangkat dari kegagapan kita di masa lalu.
Kondisi ini semakin diperparah dengan munculnya keinginan dari sosok-sosok tersebut untuk menyahuti “kehendak massa” yang agaknya menjadi manifestasi dari keinginan pribadi yang bersangkutan untuk kemudian melenggang ke pentas politik dengan bertolak dari relawan kemanusiaan, aktivis, pengusaha dermawan atau intelektual publik dan kemudan melenggang menjadi keuchik, bupati, gubernur dan bahkan presiden.
Dan ketika posisi-posisi itu mereka duduki, kita akan kembali merancang kegagapan-kegagapan baru untuk kemudian menggantikan mereka dengan sosok-sosok lain di masa depan. Padahal, sekiranya kita membiarkan mereka bertahan pada posisi semula tanpa perlu memasuki panggung politik, pastinya mereka akan tetap terhormat di mata publik. Tapi, garis tangan memang punya caranya sendiri.
Namun demikian kita tidak menafikan bahwa ada beberapa artis atau tokoh viral yang meskipun membangun citra dirinya bak alur plot twist, namun kehadiran mereka di dunia politik terkadang juga bisa diandalkan sehingga posisi mereka tetap terhormat di hadapan publik. Tapi secara kuantitas, sosok-sosok demikian tentu cukup langka. Kondisi ini terbilang wajar, sebab demokrasi memang sengaja menghibur kita, bukan sekali, tapi bertahun-tahun lamanya.
Penulis: Khairil Miswar, Pengamat Sosial