Sayangnya, saya tidak berada di Banda Aceh ketika Rocky Gerung berceramah di hadapan para pemuda dan kalangan terdidik di sana. Tetapi, untungnya, saya masih mengikuti salah satu pidatonya mengenai narasi baru Indonesia melalui akun Youtube.
Saya sengaja menyimak dengan telaten bukan dalam kepentingan untuk mendengar gagasan baru dari Rocky Gerung mengenai narasi Indonesia, melainkan untuk melihat wacana apa yang diajukan dalam perjumpaan tersebut.
Tujuan ini penting diketengahkan untuk menguji tesis saya bahwa menjelang dua dekade perdamaian, Aceh memang semakin mendekati Indonesia.
Tesis tersebut sepertinya kian mendekati kebenaran ketika tidak ada satu orang pun di forum itu yang mendorong agenda Aceh dalam diskursus narasi Indonesia baru, kecuali mendengar pidato Rocky Gerung yang masih terobsesi dengan konsep negara federal yang diyakini olehnya sebagai antitesa negara kesatuan.
Federasi tentu bukanlah hal baru secara pewacanaan di Aceh mengingat wilayah ini paling terdepan yang memberikan alternatif tersebut di jagat sejarah politik Indonesia.
Tanpa Rocky pun, kalau dalam rumusan saya, Aceh masih bisa menawarkan wacana demikian apabila ruang publik kita kembali sehat.
Namun, yang menjadi catatan penting dari esai ini, tentu saja pada bacaan bahwa raibnya agenda khas Aceh dalam pertemuan itu menunjukkan ada situasi baru yang sedang berlangsung di wilayah ini saat ini.
Alasan yang bisa saya kemukakan secara hipotesis diantaranya: Pertama, Aceh telah kehilangan isu karena normalisasi kehidupan politiknya. Sebagai contoh, perhelatan elektoral yang mulanya muncul sebagai pertunjukan identitas politik di awal perdamaian, kini berubah menjadi rutinitas pesta demokrasi belaka. Bahkan, dalam beberapa aspek, Pemilu dan Pilkada, dianggap sebagai pintu masuk bagi elite politik untuk mempajaki dana Aceh yang berlimpah.
Kedua, agenda politik nasional ternyata lebih memiliki daya ledak dibandingkan agenda di Aceh sehingga wilayah ini menjadi pengikut dari pewacanaan yang bermuara di Jakarta.
Ketiga, hilangnya soliditas sesama orang Aceh setelah kegagalan dalam pembangunan selama masa perdamaian. Hilangnya soliditas ini kemudian berimplikasi terhadap rapuhnya solidaritas dan rasa saling percaya. Akibatnya, mau tidak mau, orang Aceh harus melabuhkan diri sebagai bagian dari narasi politik nasional.
Dalam situasi itulah, Rocky Gerung berkunjung dan berpidato di Aceh. Dari rekaman Youtube, saya menyaksikan kalau acara tersebut seperti kegiatan yang berlangsung di wilayah lain. Menyebut Aceh, terutama oleh Rocky Gerung, sebagai bagian dari kisah besar yang sedang dia ajukan selama ini. Singkat kata, Rocky datang ke Aceh sebagai juru bicara narasi Indonesia.
Apa yang sedang kita saksikan ini merupakan hal yang tidak pernah diramalkan akan terjadi, terutama di masa-masa awal perdamaian. Namun, saya melihat hal ini juga tidak buruk. Mendorong Aceh untuk berbicara tentang dirinya terus menerus tentu tidak baik untuk wilayah ini.
Ajakan untuk memikirkan nasib bangsa Indonesia, seperti yang diajukan dalam diskusi bersama Rocky Gerung, dapat dibaca sebagai upaya menarik orang Aceh keluar dari tempurungnya untuk membawa dirinya ke ceruk yang lebih besar.
Apa yang ditawarkan sebagai “Narasi Baru Untuk Indonesia” dari Aceh, seperti mengulang apa yang dilakukan oleh generasi wilayah ini sebelumnya dengan tidak menjadikan Aceh Raya sebagai obsesinya, melainkan negara Indonesia yang lebih besar.
Dalam maksud tersebut, bukan kebetulan, sebab yang mendampingi Rocky Gerung adalah Humam Hamid. Humam, hemat saya, harus diingat sebagai calon yang pernah hampir jadi Gubernur Aceh.
Dia, menurut saya, dapat dijelaskan sebagai penjaga garis lintang Aceh karena posisinya secara genealogis terhubung dengan angkatan intelegensia Aceh di awal abad ke-20. Angkatan ini sejak kemunculannya menjadi perawat narasi Aceh – lalu berikutnya: Indonesia.
Humam, saya senang melihatnya di forum tersebut sebagaimana saya menyukai esai-esainya, sebagai pemberi jaminan bahwa narasi baru Indonesia selalu datang dari Aceh.