Sampai dengan tahun 1960-an, hanya ada empat orang terakhir di Damaskus, Suriah yang mendapatkan gelar sebagai al Allamah atau ulama besar. Mereka adalah Syaikh Hasan Habannakeh, Syaikh Zainal Abidin at Tunisi dan Syaikh Bahjat Baitar. Sementara aku lupa siapa nama ulama yang ke empat.
Damaskus di tahun-tahun itu sedang menjadi salah satu pusat keilmuan Islam dunia.
Sementara, nama-nama ulama terkenal lainnya kala itu sekelas Syaikh Salih Farfur, Syaikh Abdul Karim Rifai dan ratusan ulama lain di level mereka tidak mendapatkan gelar ulama besar. Bukan karena mereka tidak alim, tetapi karena level al Allamah atau ulama besar, yang berhak menggunakan “surban putih dan ikat pinggang”, bukanlah kaliber sembarangan.
Meski hanya 4 orang dari generasi emas ulama Suriah saat itu yang menerima gelar ulama besar, itu tak membuat ulama lain cemburu. Hal ini disebabkan oleh adanya standar tertulis untuk mencapai level al Allamah.
Lantas apa standar seseorang layak mendapatkan gelar al Allamah?
Seorang ulama baru mendapatkan gelar al Allamah adalah ketika ia telah menguasai dua belas cabang keilmuan di dalam Islam. Cabang-cabang keilmuan tersebut seperti mantiq, lughah, Al-Quran, Hadits, Ushuluddin, Ushul Fiqh, dua cabang ilmu ghayah fikih dan tasawuf, ilmu Tarikh, Fitan, Ada’ dan tahammul.
Namun, menguasai kedua belas cabang keilmuan itu tidak cukup apabila tidak memahami, mengaplikasikan, mengetahui dan menghafal seluruh dalilnya. Dan kemudian mempertahankan dalilnya dari kritikan atau kemampuan ini sering disebut dengan an nudhar. Manakala tahapan ini telah dicapai, maka mereka akan diberi gelar sebagai al Allamah oleh ulama yang telah mencapai level itu terlebih dahulu.
Sedangkan bagi yang baru mencapai kemampuan menghafal dua belas cabang ilmu itu, namun hanya satu cabang ilmu saja yang benar-benar dikuasai dan dihafal setiap detail dalilnya, serta mampu mempertahankannya dari kritikan, maka mereka akan disebut dengan alim saja. Seperti sebutan faqih dalam ilmu fikih, ushuly dalam ilmu ushul fikh, adib dalam ilmu bahasa Arab, muarikh dalam ilmu sejarah dan sirah, mutakalim dalam ilmu akidah dan mantiq, muhadis dalam ilmu hadis, mufassir dalam ilmu tafsir, dan qura dalam ilmu qiraat.
Orang yang mempunyai kemampuan di bawah itu dinamakan al ustadz, yakni mereka yang berhasil menghafal dua belas cabang ilmu dan mengaplikasikannya tetapi tidak mampu menghafal seluruh dalil dan istinbathnya dengan detail. Intinya, seseorang pada level ini belum mencapai tahap an nudhar. Namun demikian untuk mencapai level ini saja butuh waktu hingga belasan tahun.
Di bawah level al ustadz, dinamakan dengan thalib atau santri. Adapun yang belajar satu cabang keilmuan secara mendasar disebut dengan mustaqaf atau yang mempunyai wawasan, sedangkan orang biasa disebut dengan awam.
Inilah standar ulama dahulu. Makanya jika ada orang yang memuji secara berlebihan seorang murid yang cerdas di hadapan Syaikh Hasan Habannakeh, dengan pujian semisal, “masyallah, dia seorang alim.” Syaihk Hasan Habannakeh akan menyela dengan menasehati, “cukup katakan, Thalib yang berbakat.”
Apa yang dilakukan oleh Syaikh Hasan Habannakeh bukan karena tidak boleh memuji, tetapi beliau sedang mengajari masyarakat untuk menaruh sesuatu pada tempatnya, karena semua gelar keulamaan sudah jelas standarnya.
Otak cerdas atau pintar bicara saja tidak cukup, bahkan punya wawasan dan bacaan banyak juga tidak cukup untuk disebut sebagai alim. Tentu ulama melakukan standardisasi ini agar tidak ada orang “berbaju ulama” yang dapat menipu umat. Kalau tidak, lama kelamaan kepercayaan umat kepada ulama akan hilang, karena ulah “penipu berjubah ulama” yang kurang ilmu ini telah menyampaikan agama tidak sebagaimana mestinya.
Gelar-gelar keulamaan ini tidak hanya milik ulama Damaskus, tapi ada di mana-mana, seperti di Al-Azhar, madrasah Hijaz, dan beberapa negara Islam lainnya. Sayangnya, sejak gelar keulamaan ini mulai dikikis dengan munculnya gelar baru seperti profesor, doktor, master, lisensi dan semacamnya, yang membuat standardisasi keulamaan dan keilmuan semakin tidak jelas.
Bahkan, selama ini begitu banyak orang yang dipanggil ustaz hanya gara-gara sering pakai jubah, punya modal semangat dan pintar bicara. Belum lagi candaan panggilan ustaz yang membuat gelar al-ustaz jadi bahan obral. Lalu apa yang terjadi? Dampaknya adalah apa yang kita lihat hari ini, masyarakat bingung. Ustaz beneran tidak lagi dipercaya gara-gara maraknya kemunculan ulama jadi-jadian bermodal taplak meja.
Saat haji tahun lalu, aku sempat bertamu dan berjumpa dengan beberapa ulama Hijaz seperti Habib Zain Sumaith, Sayyid Ahmad Salih Ruqaimy, Abuya Sayyid Ahmad al-Maliki, Sayyid Nabil al-Ghamry, Habib Umar al-Jailany, Habib Umar bin Hafidz dan lain-lain. Selain untuk keperluan menyampaikan titipan dari guru di Damaskus, aku juga menyempatkan diri untuk mengambil barakah, doa dan ijazah dari mereka.
Kawanku yang di Mekah, alumni Madrasah Saulatiyah yang membantuku menunjukkan alamat para ulama ini di Mekah memberitahu bahwa di antara mereka ada yang bergelar mufti. Yakni gelar bagi orang yang bertanggung jawab dan berhak untuk memberitahukan hukum Islam kepada masyarakat.
Lantas aku bertanya dengan agak heran, “Kok banyak sekali mufti? Ini ditunjuk oleh kerajaan?”
Dia menjawab, “Nggaklah, kan kamu udah belajar fiqh dan ushul fiqh. Di sana ada syarat-syaratnya.”
Aku mulai kegirangan, lalu bertanya, “Abuya Sayyid Ahmad al-Maliki termasuk mufti nggak?”
Dia menjawab, “Beliau memang alim tapi belum mencapai taraf mufti”
Tentu saja aku gembira, bukan karena Abuya Sayyid Ahmad al-Maliki tidak menjadi mufti, tetapi karena orang selevel dirinya dan memiliki nama besar saja belum mencapai derajat itu. Berarti ada standar tinggi di sini, lalu aku melanjutkan pertanyaan yang sebenarnya aku sudah tahu jawabannya,
“Jadi siapa yang menentukan seseorang mufti atau bukan?”
Dia menjawab, “Ya mufti-mufti sebelumnya.”
Betapa senangnya mendengar kabar ini. Mimpiku selama ini seperti menjadi kenyataan. Gelar mufti seperti dulu ternyata masih ada, bukan mufti yang ditunjuk pemerintah karena alasan politis. Dan rupanya ulama Hijaz masih memakai standar itu.
Aku sangat menginginkan standardisasi ulama itu ada di seluruh dunia, apalagi di Indonesia yang selama ini cukup longgar dalam standardisasi ulama sehingga membuat semua orang bisa menjadi ustadz, dan semua orang dapat menjadi kiai. Modal ganteng, pandai ngomong, bahkan yang nyeleneh dan tidak jelas sanad keilmuan dan siapa gurunya pun dapat dianggap sebagai ulama.
Di Indonesia, ada orang yang modalnya cuma sering mengunggah foto-foto dirinya menggunakan serban, bisa memiliki jamaah dan dianggap sebagai ustaz. Bahkan tak jarang ustaz-ustaz ini berani menyesatkan pendapat ulama yang sudah belajar selama puluhan tahun. Masyarakat sering bingung harus ikut siapa.
Bayangkan, di Indonesia orang sepertiku saja ada yang manggil ustaz? Entah bagaimana masa depan Islam di Indonesia nantinya. Dan sepertinya memang sudah saatnya kita kembali lagi ke masa dimana siapa ulama dan bukan, ada standarnya. Sehingga kita tahu kemana harus merujuk untuk bertanya tentang agama secara benar dan tidak membingungkan. Hijaz sudah ada, Indonesia kapan?