Suasana haru menyelimuti kantor DPP Partai Adil Sejahtera (PAS) Aceh. Terlihat, Bulqaini Tanjungan, Ketua PAS, duduk di tengah. Di sebelah kanan kirinya, tampak Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi sedang serius menyimak arahan Bulqaini, yang disampaikan dengan suara berat dan mendalam. Dari jauh, kita pun tahu bahwa PAS, sebagai salah satu partai pengusung Bustami Hamzah dalam Pilkada Aceh tahun ini telah kehilangan tokoh pentingnya, Muhammad Yusuf A. Wahab (Ayah Sop).
Ayah Sop, yang semula dipasangkan dengan Bustami Hamzah, berpulang secara tiba-tiba, karena penyakit jantung yang menderanya setelah mengikuti berbagai proses pendaftaran dan validasi calon kepala daerah.
Kehilangan Ayah Sop ini, secara politik, menyebabkan ada ruang yang menganga lebar. Ruang yang dahulunya, dapat ditutupi oleh Ayah Sop dalam Pilkada kali ini. Ruang yang dimaksud adalah pemilih yang berafiliasi terhadap konsep kultural Aswaja Aceh. Dengan genealogi dan portofolionya tersebut, Ayah Sop diyakini akan dapat membawa suara Aswaja secara signifikan untuk Bustami Hamzah. Tetapi, tampaknya, keyakinan yang sama sepertinya tidak berlaku untuk Fadil Rahmi.
Sehari setelah penetapan Fadhil Rahmi oleh PAS, Bulqaini memberi pernyataan lugas, bahwa Fadhil Rahmi adalah bagian terdalam dari Aswaja Aceh. Fadhil, seperti kata Bulqani, bukanlah orang luar yang datang ke dalam rumah Aswaja. Dia adalah keluarga Aswaja, titah Bulqani.
“Syeh Fadhil sama seperti Aswaja yang ada di Aceh, ia alumni Darul Arafah, dia murid langsung Abu Mudi. Jadi saya tidak meragukan keaswajaan beliau.”
Perkataan Bulqaini di atas (Serambi Indonesia, 14/09/2024) memberi penanda bahwa secara kultural, Fadhil tidaklah membawa identitas Aswaja Aceh secara sosiologis. Karena itulah, Bulqaini memberi penekanan, yang secara sederhana, tidak akan dia sampaikan jika pengganti Ayah Sop adalah salah satu dari lima nama tokoh Aswaja Aceh yang sebelumnya telah direkomendasikan oleh Hasanoel Bashry (Abu Mudi).
Lalu, pertanyaannya, apakah dalam waktu dua bulan menuju hari pemilihan, Fadhil Rahmi dapat menjadi tempat berlabuhnya pemilih dari ceruk Aswaja. Apakah Fadhil Rahmi memiliki kemampuan untuk itu, bahkan untuk menggantikan posisi Ayah Sop secara mutlak di mata pemilih Aswaja.
Pertanyaan demikian tidaklah mudah untuk Fadhil, bahkan juga untuk Bustami. Untuk tampil sebagai keterwakilan Aswaja, apalagi dalam struktur keulamaannya, haruslah melewati genealogi yang telah disusun oleh Muda Waly Al Khalidy yang berliku. Ditambah, pengakuan yang diberikan kepada sosok yang dihormati dalam kultur Aswaja Aceh adalah adanya faktor keterlekatan dalam kursus keagamaan, intelektual, dan tata nilainya. Di titik ini, Fadhil lebih mendekati prototipe muslim modernis, daripada Aswaja. Artinya, secara sosiologis, Fadhil lebih lekat dengan kultur muslim urban daripada muslim rural. Tumbuhnya Fadhil dalam kultur muslim perkotaan tentu akan memberi efek lain juga, yaitu ceruk pemilih urban, yang secara psikologis dekat dengan profil Fadhil Rahmi.
Keberadaan ceruk pemilih muslim urban demikian, harus diakui, tidaklah sebesar pemilih yang berasal dari basis rural dan muslim tradisional. Muhajir Al Fairusy dengan sigap memberi contoh Pilpres lalu, di mana keberpihakan muslim tradisional kepada Jokowi dapat mengalahkan Prabowo Subianto yang didukung oleh muslim kota yang lebih militant. Dalam situasi ini, Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi harus berusaha lebih keras, karena di saat yang sama, Muzakkir Manaf lebih memiliki kelekatan dengan basis pemilih pedesaan, yang menjadi basis dari kelompok Aswaja.
Perjumpaan keduanya, antara Mualem dan Aswaja, didorong oleh faktor psikologis dan sosiologis. Mualem yang mewakili sejarah Gerakan Aceh Merdeka memiliki persamaan dengan kelompok Aswaja Aceh yang terpinggirkan di era Orde Baru. Kedua kelompok ini kemudian melakukan aliansi tertutup untuk menuntut rekognisi. Aliansi keduanya mulai terbuka sejak kejatuhan rezim Suharto dan memasuki masa damai. Perjumpaan demikianlah yang membuat Muhammad Ali (Abu Paya Pasi) tidak memiliki kendala berarti untuk bergabung dalam tim pemenangan Muzakkir Manaf-Fadhlullah, walau sebelumnya, rekomendasinya agar Ayah Sop diambil sebagai pendamping Mualem tidak dikabulkan.
Walau demikian, Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi masih memiliki kesempatan untuk mendapat pemilih dari ceruk Aswaja. Selain karena didukung oleh PAS, sebagai salah satu representasi politik Aswaja Aceh, Fadhil juga memiliki modal kultural sebagai intelektual muslim yang tumbuh dalam tradisi keaswajaan di Universitas Al Azhar. Lalu, yang menjadi pekerjaan rumahnya adalah bagaimana modal kultural tersebut dikapitalisasi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama ini.