Banyak pihak, terutama kaum kelas menengah di perkotaan seringkali terjebak dalam anggapan bahwa seolah-olah Wahabisme dan gerakan pembaharuan Islam ala Muhammad Abduh adalah sama. Salah satu hal yang mendasari berkembangnya anggapan ini adalah karena kedua gerakan ini mengusung jargon; kembali kepada Al Quran dan Hadis. Memang jika dibaca secara sekilas keduanya memiliki beberapa kesamaan, namun sesungguhnya mereka mempunyai semangat dan lahir dari konteks sejarah yang cukup berbeda.
Meski mengibarkan jargon kembali kepada Al Quran dan Hadis, bagaimana sesungguhnya perbedaan kedua gerakan ini?
Gerakan wahabisme lahir pada pertengahan abad ke 18 dalam konteks sejarah ketika pengaruh tasawuf, tradisi dan majelis-majelis tarekat menguat di kalangan masyarakat Arab, khususnya Mekkah dan Madinah.
Sebagaimana diulas dalam Unwan al-Majd fi Tarikh Najd karya Ibnu Bisyr, Muhammad bin Abdul Wahab sebagai sosok yang menginspirasi lahirnya gerakan wahabisme, kala itu mengalami keresahan yang luar biasa manakala menyaksikan kecenderungan masyarakat yang membuat bangunan untuk kuburan orang-orang yang dianggap sebagai wali. Mereka berdoa di sana, melakukan tawasul (berdoa kepada Allah SWT melalui perantara ulama atau wali) kepada ulama yang dikuburkan di dalamnya. Ia juga menemukan kebiasaan masyarakat Arab saat itu yang sering mengadakan doa bersama untuk orang yang sudah meninggal. Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab juga menyaksikan tumbuhnya kebiasaan masyarakat yang mengadakan acara-acara, seperti maulid, untuk memperingati hari-hari khusus dalam kalender Islam.
Semua itu dianggap oleh Muhammad bin Abdul Wahab sebagai kebiasaan yang menyesatkan. Dia kemudian memaknai kebiasaan orang-orang yang berziarah dan berdoa di kuburan sebagai praktik pemujaan kuburan, ia sering menyamakannya dengan penyembah berhala. Ia juga menyebut kebiasaan tawasul, meski banyak ulama lain membolehkan, sebagai prilaku menduakan Tuhan. Dan ia merespon tradisi-tradisi merayakan hari-hari tertentu dalam kalender Islam sebagai perbuatan bid’ah yang menyesatkan. Muhammad bin Abdul Wahab menganggap semua kebiasaan itu sebagai prilaku yang tidak diajarkan dalam Al Quran dan Hadis, yang harus dibasmi. Dari akar sejarah ini wahabisme kemudian tumbuh dan kerap menyerang siapapun yang hidup dengan kebiasaan tersebut, sebagai murtad, musyrik dan kafir.
Dalam konteks sejarah inilah wahabisme lahir sebagai gerakan dengan basis teologis atau mereka kerap mengidentifikasikan dirinya sebagai muwahidun atau ahlu at Tauhid (pengikut tauhid). Klaim ini membuat wahabisme percaya bahwa siapapun yang tidak sepemahaman dengan mereka adalah kafir.
Dapat dikatakan bahwa basis gerakan wahabisme adalah pemurnian tauhid. Jadi wahabisme tidak lahir sebagai respon atas keadaan umat Islam yang terbelakang dan terjajah baik secara kelimuan maupun peradaban.
Wahabisme selalu merasa bertanggung jawab untuk meluruskan tauhid seluruh umat Islam yang menurut mereka telah hidup dalam kebiasaan bidah yang tidak diajarkan dalam Al Quran dan Hadis.
Meski seringkali menolak taklid dan mengajak umat Islam untuk kembali kepada Al Quran dan Hadis, wahabisme tidak pernah menawarkan konsep dan metodologi yang jelas sebagai jalan untuk kembali kepada dua sumber utama dalam Islam tersebut.
Dalam banyak hal para pengikut wahabi lebih senang menyebut dirinya sebagai pengikut salafush shaleh yaitu tiga generasi pertama yang hidup setelah Nabi SAW. Namun alih-alih menjadi pengikut salafush shaleh, wahabisme justru kerap terjebak dalam paradoksnya sendiri karena taklid kepada Ibnu Taimiyah, seorang ulama yang hidup di generasi ke tujuh setelah Nabi SAW wafat, yang bukan dari kalangan salafush shaleh.
Seandainya pun kita menerima bahwa wahabisme merupakan lanjutan dari salafush shaleh, maka klaim ini pun akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru seperti, salafush shaleh mana yang dimaksud oleh wahabisme? Jika yang dimaksud adalah generasi pertama yaitu para sahabat Nabi SAW. Maka para sahabat yang mana? Sebab di antara para sahabat juga memiliki banyak sekali perbedaan dalam memahami Al Quran dan Hadis. Misalnya beberapa pemahaman Umar bin Khattab tentang hukum berbeda dengan Utsman bin Affan. Bahkan Imam Syafi’i pernah menulis buku berjudul ikhtilaf Ali wa Abdillah bin Mas’ud yang menggambarkan tentang perbedaan-perbedaan pendapat keduanya dalam banyak masalah.
Artinya klaim wahabisme sebagai pengikut salafush shaleh juga menyisakan banyak sekali absurditas. Begitu pula dengan jargon kembali kepada Al Quran dan Hadis, dimana wahabisme tidak menawarkan suatu konsep yang jelas tentang bagaimana peta jalan ijtihad versi wahabisme sebagai cara kembali kepada dua sumber hukum dalam Islam ini.
Apa yang ditawarkan oleh wahabisme dalam jargon kembali kepada Al Quran dan Hadis seringkali adalah jalan letterlik, yaitu suatu upaya dalam memahami Al Quran dan Hadis secara harfiah dan tekstual, yang mengabaikan sama sekali konteks sosial dibalik turunnya suatu ayat. Wahabisme juga menentang keras filsafat, sekaligus mengharamkan intuisi dalam beragama. Sehingga pendekatan wahabisme ini menghilangkan makna substantif dari kandungan dalil yang diinterpretasikan. Konsekuensinya adalah wahabisme sulit menoleransi situasi sosial yang agak berbeda dengan teks harfiah Al Quran dan Hadis.
Basis wahabisme ini tentu saja berbeda dengan gerakan pembaharuan Islam yang diusung oleh Muhammad Abduh, meski keduanya sama-sama menggaungkan jargon kembali kepada Al Quran dan Hadis.
Penulis: Mujlisal, Kepala Biro Akademik Ma’had Aly Darul Munawwarah Pidie Jaya
Terima kasih bg mujlisal atas tulisannya. Saya tertarik membaca tulisan ini mengingat kurangnya bacaan saya mengenai ini. Ditunggu bg part 2 nya. Semangat 😁