Secara bahasa furu itu artinya cabang atau ranting. Lawannya adalah ushul, yang berarti pokok atau akar. Furu’ yang akan saya diskusikan dalam tulisan ini adalah pembahasan turunan dari pembahasan pokok yang menjadi inti dalam Islam. Misalnya berpuasa di bulan ramadhan hukumnya adalah wajib. Pembahasan tentang status hukum berpuasa di bulan ramadhan ini masuk dalam ranah ushul. Namun bagaimana mekanisme tentang memantau dan menentukan hilal, apakah suntik membatalkan puasa, atau apakah disunnahkan buka puasa dengan yang manis, ini menjadi pembahasan yang dikategorikan dalam wilayah furu’.
Lantas mengapa dalam masalah furu’ umat Islam harus bertaklid, itu karena permasalahan yang dibahas dalam satu tema saja di khazanah keilmuan Islam sangat banyak dan luas, bahkan setiap pembahasan kerapkali saling terkait dengan masalah lain. Jadi jika semua orang pada saat bersamaan harus menguasai semuanya sekaligus, maka itu akan melahirkan persoalan baru yang cukup kompleks. Kita akan dihadapkan pada pertanyaan seperti, apabila semua orang harus meluangkan waktunya yang cukup banyak ini untuk menguasai persoalan furu’ agama, lantas kapan orang bisa bekerja? Siapa yang akan mengurus negara? Dan bagaimana struktur masyarakat bisa berfungsi dengan baik?
Makanya penguasaan dalam bab furu’ hanya diwajibkan untuk dimiliki oleh orang yang mau menghabiskan waktu untuk mempelajarinya. Dan yang tidak memiliki waktu untuk itu, dia boleh taklid kepada orang yang memiliki spesialisasi dalam masalah furu’, dan selebihnya bisa lebih fokus mengerjakan hal lain. Jadi Ketika kita mengikuti orang lain, bukan berarti tidak menggunakan akal untuk berpikir, tapi bertaklid justru karena kita berpikir. Karena ada banyak hal yang tidak bisa begitu saja kita temukan jawabannya, maka ia membutuhkan pendekatan spesialisasi tertentu.
Sebagaimana orang yang tidak belajar ilmu kedokteran, tentu saja saat diserang penyakit ia harus berobat kepada dokter. Malah akan jadi sebuah ketololan kalau dia mencoba mengobati diri sendiri, dengan dalih: “saya orang merdeka, saya tidak tunduk pada pikiran siapapun.”
Lalu dalam konteks ushul, apakah boleh bertaklid tanpa mengetahui dalil? Jawabannya adalah jika itu berada dalam wilayah akidah maka siapapun wajib mengetahui dalil, tidak boleh taklid. Karena jika bertaklid dalam akidah, begitu ada syubhat (argumentasi yang cacat atau menyimpang) sedikit saja, maka mukallid (orang yang bertaklid) akan mudah terjebak dalam kubang keraguan. Begitu keraguan datang, mukallid akan meragukan kebenaran Islam, yang akan berdampak pada hilangnya ushul furu’ dan ini akan berakibat pada menguatnya paradigma bahwa agama tidak lagi menjadi hal penting dalam kehidupan.
Makanya mempelajari ushul agama sangat penting. Dan di dalam khazanah Islam ushul-nya tidak banyak, hanya beberapa halaman saja. Hanya saja ushul ini tidak banyak yang pelajari secara serius. Efeknya yang luar biasa dapat dilihat sekarang yaitu banyak yang ragu pada agama sendiri, atau munculnya penafsiran tentang Islam yang aneh-aneh. Dan tidak mengherankan juga akhirnya ajaran-ajaran yang mengatasnamakan Islam namun isinya cukup ganjil begitu menjamur. Ada yang begitu percaya diri berlagak menjadi mujtahid. Menyemarak pula cara berislam yang bikin orang hilang minat untuk beragama.
Keharusan taklid ini tentu saja bukan tentang bahwa pemahaman agama hanya dapat dimonopoli oleh sekelompok orang atau para ulama saja. Tidak. Ulama itu bukan kasta yang bisa diturunkan secara turun temurun, tetapi ia adalah spesialisasi, dan untuk menjadi spesialis butuh pengorbanan, dan jalan ini terbuka bagi siapa saja, anak siapa saja. Ada begitu banyak ulama terkemuka di dunia ini yang lahir dari keluarga biasa.
Lantas kenapa ulama begitu dihormati, dan harus dihormati? bukan karena kasta, tapi sebagaimana kita menghormati dokter yang memiliki spesialisasi untuk mengobati setiap penyakit di jasad kita, maka ulama adalah spesialis yang memiliki kemampuan dalam bidang agama untuk mengobati penyakit ruh dalam tubuh kita.
Setiap “pengobatan” yang dilakukan oleh ulama tentu tidak dilakukan sesuai seleranya, akan tetapi ia melewati tahapan yang sesuai dengan keilmuan yang mereka pelajari selama bertahun-tahun dari ulama sebelumnya yang mata rantai silsilah ilmunya sampai ke nabi SAW. Kalau dokter yang memiliki spesialisasi dalam ilmu Kesehatan kita ikuti, mengapa para ulama yang memiliki spesialisasi dalam bidang agama tidak kita ikuti? Jadi, mari bertaklid pada tempatnya.
Penulis: Fauzan Inzaghi, mahasiswa Pascasarjana Universitas Syaikh Ahmad Kuftaro, Damaskus, Suriah.